Ubah Pengawasan Impor Barang Dapat Tekan Dwelling Time

‎Pemerintah akan ubah mekanisme pengawasan sejumlah impor barang tertentu, dari sebelumnya di wilayah kepabeanan (border) jadi post border.

oleh Septian Deny diperbarui 30 Jan 2018, 21:25 WIB
Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Oktober mencapai US$ 15,09 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Pemerintah akan mengubah mekanisme pengawasan untuk sejumlah impor barang tertentu, dari sebelumnya di wilayah kepabeanan (border) menjadi di luar wilayah kepabeanan (post border). Kebijakan tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 Februari 2018.

Direktur Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea Cukai Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan, ada sejumlah manfaat yang akan didapatkan dari perubahan mekanisme pengawasan ini. Salah satunya yaitu penurunan waktu tunggu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time).

"Kalau digeser tentu ada pengurangan, sangat signifikan pastinya. Dengan adanya pergeseran ini, yang tadinya selesaikan di border maka harus menunggu kementerian/lembaga dan pegeseran ini enggak nunggu lagi," ujar dia di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (30/1/2018).

Selain itu, adanya kebijakan ini juga akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh importir. Sebab, dengan pengawasan yang dilakukan di wilayah kepabeanan seperti yang selama ini terjadi, importir harus menyewa gudang dan membayar biaya penumpukan agar barangnya bisa transit sambil menunggu pemeriksaan.

"Berdasarkan pengalaman di KPU Priok, strategi untuk menurunkan dwelling time adalah dengan tarif progresif. Penimbunan dikenakan progresif, hari pertama free, hari kedua 300 persen, hari kedua 600 persen dan seterusnya 900 persen. Dengan tarif progresif, importir didorong menyelesaikan kepabenan," jelas dia.

Terakhir, ada kebijakan ini juga diharapkan dapat memberikan kepastian bagi sektor industri akan dalam mendapatkan bahan baku impor.

"I‎ndustri punya kepastian penyediaan bahan baku, peralatan. Sudah jelas dengan post border maka penjadwalan barang-barang semakin pasti," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Ubah Pengawasan Permudah Impor Bahan Baku Industri

Aktivitas bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Sejak tahun 2015, baru dua kali nilai ekspor Indonesia melampaui US$ 15 miliar per bulan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menggeser pengawasan terhadap barang impor, khususnya bahan baku industri yang masuk dalam kategori larangan terbatas (lartas). Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 1 Februari 2018.

Sebelumnya, pengawasan barang-barang impor dilakukan di dalam wilayah kepabeanan (Border) Indonesia, seperti pelabuhan, bandara, dan lain-lain. Namun, untuk sejumlah barang tertentu, pemerintah mengubah mekanisme pengawasan menjadi di luar wilayah kepabeanan (Post Border).

"Penerapan kebijakan ini sejalan dengan usaha pemerintah untuk memperbaiki peringkat kemudahan berusaha (Easy of Doing Business/EODB) dan sesuai dengan amanat Paket Kebijakan Ekonomi ke-15," ujar DirekturJenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis 25 Januari 2018.

Dia menjelaskan, Kemendag telah menerbitkan 17 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) pergeseran larangan terbatas (lartas) dari Border ke Post Border antara lain untuk komoditas besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya, jagung, produk kehutanan, mutiara, ban, mesin multifungsi berwarna, mesin fotokopi berwarna, dan printer berwarna.

Kemudian bahan baku plastik, pelumas, kaca lembaran, keramik, produk tertentu, intan kasar, produk hortikultura, hewan dan produk hewan, alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya asal impor, barang modal tidak baru, dan barang berbasis sistem pendingin.

"Dari proses pergeseran pengawasan tersebut, terjadi pergeseran lartas dari 3.451 pos tariff (HS) yang semula diatur di Border, menjadi hanya 809 pos tariff (HS) yang pengawasannya masih dilakukan di Border atau presentase pergeserannya ke Post Border sebesar 76,5 persen," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya