Sempat Dikira Penyebar Agama, Ini Suka Duka Jadi Guru di Pelosok

Dina Mian Sihite rela melepas gaji besar sebagai guru di sekolah swasta di Jakarta demi mendapat kesempatan mengajar di pelosok.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 25 Nov 2017, 08:06 WIB
Foto: Dina Mian Sihite

Liputan6.com, Jakarta Dina Mian Sihite rela melepas gaji besar sebagai guru di sekolah swasta di Jakarta demi dapat kesempatan mengajar anak-anak Indonesia yang ada di pelosok. Baginya, kesempatan mengajar di pelosok tidak dapat dinilai dengan uang, karena pengalaman yang didapat akan membayarnya dengan tuntas.

Ikut program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) besutan Kementerian Pendidikan, Mian berhasil lolos dari seleksi ribuan peserta.

“Dari sekian ribu pelamar itu, yang diterima cuma tiga ribu, dan gue salah satunya,” ungkap Mian saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (24/11/2017).

Tercerabut dari budaya dan tradisi yang selama ini dipakainya dan harus menetap di masyarakat serta lingkungan yang baru dan berbeda, jadi tantangan yang harus dihadapi Mian. Berbekal niat tulus ingin memajukan pendidikan masyarakat pelosok, Mian berusaha menepis ketakutan-ketakutan yang ada dalam dirinya.

Bersama tiga temannya sesama tenaga guru, Mian mendapat tugas mengajar di SMPN 5 Sungai Beremas, Dusun Lubuk Bontar, Jorong Pigogah Patibur, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, pedalaman Sumatera Barat. Sempat mengalami kesulitan karena latar budaya dan kepercayaan yang berbeda, akhirnya Mian lambat laun bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempatnya mengajar.

“Pertama kali datang bahkan gue sempet dikira mau nyebarin agama tertentu, bawa misi tertentu,” kata Mian sambil tertawa.

Selama tugasnya sebagai relawan tenaga pengajar di pedalaman Sumatera Barat itu, Mian tinggal di semacam “mess” bersama tiga orang temannya yang lain. Mess tersebut baginya tidak lebih dari kandang kambing, karena terbuat dari kayu dan hanya beralaskan tanah.

"Sempet waktu itu kepikiran untuk tinggal di sekolah aja," ucap Mian. 

Jarak desa tempatnya mengajar yang jauh dari kota jadi kesulitan lain yang harus dihadapi Mian selama tugasnya.

Gue kesulitan beribadah, gereja cuma ada satu itu pun jauh jaraknya. Harus naik angkot yang enggak tentu datangnya kapan,” ungkap Mian.

 

Foto: Dina Mian Sihite
2 dari 2 halaman

Semua Orang Bisa Jadi Guru

Foto: Dina Mian Sihite

Mian menceritakan, tak melulu pengalaman pahit yang didapatnya selama mengajar. Pengalaman menyenangkan yang pernah dialaminya juga banyak. Salah satunya adalah berhasil mengumpulkan uang dari masyarakat, instansi, dan lembaga untuk membuat perpustakaan permanen.

“Waktu itu bisa terkumpul dua puluh lima juta, kita bikin perpus, bangunannya permanen. Kita ajak teman-teman di Jakarta waktu itu sumbang buku. Respons mereka baik. Banyak yang nyumbang, termasuk dari Pusat Bahasa,” kata Mian menceritakan.

Bagi Mian selama tugas menjadi relawan SM3T, pelajaran terpenting yang dapat diambil adalah semua orang sesungguhya bisa menjadi guru, semua orang bisa membagikan ilmu yang dimilikinya. Pemerataan pendidikan menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan pemerintah.

“Ini semakin membuka mata gue, pendidikan di Indonesia itu belum merata, ketinggalan jauh sama yang di kota,” ungkap Mian.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya