UMP Naik 8,71 Persen di 2018, Industri Ancam PHK

kenaikan UMP 2018 dinilai tidak sejalan dengan kondisi dunia usaha yang tengah lesu.

oleh Septian Deny diperbarui 31 Okt 2017, 17:00 WIB
Massa aksi Hari Buruh membawa spanduk saat memperingati Hari Buruh Internasional di Jakarta, Senin (1/5). Dalam aksinya para buruh meminta sistem kerja kontrak dan upah rendah dihapus. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta Pengusaha menilai kenaikan upah minimum yang terjadi setiap tahun akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri padat karya. Sebab, kenaikan upah tersebut tidak sejalan dengan kondisi dunia usaha yang tengah lesu.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan, dengan kenaikan upah yang terjadi setiap tahun, akan memaksa pengusaha untuk melakukan efisiensi, salah satunya dengan memangkas jumalh pekerja.

"Mereka (industri) sudah bilang terpaksa harus mengurangi," ujar dia di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (31/10/2017).

Bahkan menurut dia, dengan kenaikan UMP 2018 yang sebesar 8,71 persen akan terjadi potensi pengurangan tenaga kerja hingga 20 persen. Sebab, besaran kenaikan tersebut dinilai terlalu tinggi dan memberatkan pengusaha.

"Paling enggak antara 15 persen-20 persen, pasti efisiensinya ke tenaga kerja pasti. Sekarang industri-industri diam-diam sudah menetapkan pengurangan-pengurangan ini. Ini kan suatu hal yang harus kita pikirkan bersama," kata dia.

Jika hal ini terus dibiarkan, lanjut Harijanto, maka ke depannya mau tidak mau industri akan beralih ke otomatisasi dalam proses produksinya. Jika hal ini terjadi, maka penyerapan tenaga kerja di dalam negeri akan semakin rendah.

"Berarti kita mempercepat otomatisasi. ‎Dengan upah yang makin tinggi orang nggak bisa merekrut. Ancaman otomatisasi, robotisasi sudah sedemikian banyak. Ini ILO (International Labor Organization) sudah peringatan melalui surveinya," tandas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya