Mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur Dituntut 5 Tahun Penjara

Jaksa KPK menuturkan, Dwi terbukti menerima suap Rp 524,35 juta dan voucer hotel senilai Rp 10,8 juta.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 04 Okt 2017, 16:35 WIB
Tampilan depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru di Jl Gembira, Guntur, Jakarta, Selasa (13/10/2015). Gedung tersebut dibangun di atas tanah seluas delapan hektar dengan nilai kontrak 195 miliar rupiah. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa suap pengurusan paspor dengan metode reach out dan penerbitan calling visa, Dwi Widodo, dituntut lima tahun penjara. Mantan Atase Imigrasi KBRI Kuala Lumpur ini juga dituntut denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara oleh Jaksa KPK.

"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata Jaksa KPK Arif Suhermanto saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (4/10/2017).

Dalam pertimbangannya, jaksa KPK menyebut, Dwi selaku mantan Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur tidak mendukung pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

Jaksa menuturkan, Dwi terbukti menerima suap Rp 524,35 juta dan voucer hotel senilai Rp 10,8 juta. Uang itu diduga kuat diberikan sebagai imbalan atau fee atas pengurusan calling visa.

"Terdakwa juga terbukti menerima uang dari Satya Rajasa sejumlah 63.500 ringgit Malaysia sebagai imbalan pembuatan paspor dengan metode reach out," imbuh jaksa.

 

 

2 dari 2 halaman

Uang Pengganti

Jaksa juga menuntut Dwi membayar uang pengganti sebesar 535 juta rupiah dan 27.400 ringgit Malaysia. Dan jika terdakwa tidak sanggup membayar uang pengganti, jaksa berhak menyita harta benda milik Dwi.

Dalam amar tuntutan, Dwi diberikan waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti.

"Dalam hal tidak mempunyai harta benda yang mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara dua tahun," kata Jaksa Arif Suhermanto membacakan amar tuntutan.

Jaksa melihat Dwi memanfaatkan jabatannya untuk mendapatkan kekayaan. Baik untuk diri sendiri, keluarga, atau maupun lain.

"Kejahatan yang dilakukan terdakwa dilandasi keinginan memperoleh kekayaan untuk diri sendiri dengan memanfaatkan jabatan," ujar jaksa.

Dwi mempunyai kewenangan memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen atau persyaratan terhadap WNA yang mengajukan permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur.

Saat menjabat, Dwi juga mempunyai kewenangan untuk menentukan disetujui atau tidaknya permohonan pembuatan paspor untuk para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia.

Namun, dalam penyidikan, staf KBRI menyerahkan sebagian uang ringgit Malaysia yang diterima dari Dwi kepada KPK.

Dwi dinilai jaksa melanggar Pasal 12 huruf b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya