Perangkat Lunak Open Source Vs Closed Source, Unggul Mana?

Beberapa merek open source software telah mendapat pengakuan dari perusahaan besar dan menggeser software berlisensi mahal.

oleh Iskandar diperbarui 20 Jul 2017, 13:17 WIB
Open Source Software. Dok: irisns.com

Liputan6.com, Jakarta - Survei Black Duck Software dan North Bridge pada 2015 memperlihatkan, sekitar 78 persen bisnis menjalankan sebagian atau keseluruhan operasional software-nya dengan perangkat lunak open source. Angka ini meningkat signifikan dari hanya 42 persen pada 2010.

Survei ini menemukan, 55 persen perusahaan percaya bahwa keamanan open source software lebih baik dibanding software berbayar atau closed source software, dan 58 persen percaya skalabilitas open source software lebih baik dibanding software berbayar.

Beberapa merek open source software bahkan telah mendapat pengakuan dari perusahaan besar dan menggeser software berlisensi mahal. Contoh paling mencolok adalah penggunaan sistem operasi mobile Android.

Open source software ini sekarang menguasai lebih dari 90 persen pasar sistem operasi mobile. Open source software lainnya, seperti Linux, Apache, PHP, FreeBSD, dan LibreOffice pun terus tumbuh.

Untuk sistem database, open source software PostgreSQL berkembang sebagai alternatif yang kian dilirik. Meskipun sampai saat ini software berbayar populer masih mendominasi pasar, tetapi dengan sifat-sifat unggulnya, software ini berpeluang mengekor kesuksesan Android dan menjadi pemimpin pasar.

“Penerapan database PostgreSQL dalam bisnis kelas enterprise menuntut penanganan tenaga ahli dan profesional, agar performa perusahaan yang menggunakan sistem ini dapat sebanding dengan sistem database berbayar,” kata Julyanto Sutandang, CEO PT Equnix Business Solutions melalui keterangannya, Kamis (20/7/2017) di Jakarta.

Ia menegaskan, pihaknya didukung oleh 5 (lima) ahli bersertifikat Enterprise PostgreSQL Associate dan Enterprise PostgreSQL Professional. Selain fleksibilitas, keunggulan lain dari penerapan PostgreSQL adalah potensi penghematan biaya hingga miliaran rupiah.

"Penyebabnya jelas, lisensi yang permisif membuat bisnis tak perlu mengeluarkan biaya lisensi seperti ketika memakai non-open source software berlisensi restriktif," ujar Julyanto menambahkan.

Foto dok. Liputan6.com

Untuk diketahui, sebuah software sistem database populer memungut biaya lisensi sebesar US$ 22.500 per core. Apabila sebuah bank memerlukan 36 core untuk menjalankan sistem database-nya, maka mereka harus mengeluarkan biaya modal atau capital expenditure (Capex) Rp 10,935 miliar, hanya untuk membeli lisensi.

Dalam praktiknya, bisnis memang membutuhkan jasa dukungan open source software untuk asistensi dan kustomisasi software. Namun, dengan open source software, perusahaan hanya perlu mengeluarkan biaya operasional atau operating expenditure (Opex). Dibandingkan dengan memakai software berbayar, yang harus mengeluarkan Capex dan Opex.

(Isk/Cas)

Tonton Video Menarik Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya