Isu Radikalisme dan Demo Berantai Bakal Ganggu Ekonomi RI?

Demo atau unjuk rasa yang marak terjadi beberapa bulan terakhir menyangkut dugaan penistaan agama, dinilainya masih bersifat kondusif.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 22 Mei 2017, 20:44 WIB
Ratusan buruh menggelar aksi demo di kawasan industri Pulogadung, Jakarta, Selasa (24/11/2015). Buruh menuntut dicabutnya Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Isu radikalisme dan demo berantai yang terjadi akhir-akhir ini dikhawatirkan berdampak terhadap ekonomi Indonesia, termasuk aliran investasi yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal Standar & Poor's (S&P) baru saja menyematkan rating layak investasi atau investment grade atas kredit Indonesia.

Direktur Kebijakan Luar Negeri dan Kerja Sama Pembangunan Internasional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Dewo Broto Joko Putranto mengungkapkan, isu radikalime dan suku, ras, agama antar golongan (SARA), maupun demo pasti akan berpengaruh pada perkembangan ekonomi nasional.

"Pasti ada pengaruh, tapi kan ini negara demokrasi. Pemerintah memberikan kebebasan berbicara, berpendapat sesuai peraturan atau koridor hukum yang berlaku," kata Dewo saat berbincang dengan Liputan6.com di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (22/5/2017).

Demo atau unjuk rasa yang marak terjadi beberapa bulan terakhir menyangkut dugaan penistaan agama, dinilainya masih bersifat kondusif. Ini membuktikan kedewasaan proses demokrasi di Indonesia sehingga tidak menjadi kekhawatiran investor menanamkan modalnya.

"Demo di sini tidak sampai rusuh, sejauh ini aman, tidak sampai anarkis. Beda dengan negara lain yang sampai mogok. Malah menunjukkan kedewasaan demokrasi di Indonesia, jadi saya rasa, fine buat investor," Dewo menjelaskan.

Investor, lanjutnya, lebih memikirkan mengenai kondisi atau fundamental ekonomi dalam pertimbangan berinvestasi. Salah satunya rating layak investasi dari S&P. Karena Dewo mengaku, Indonesia masih dianggap negara yang tepat untuk menanamkan modal dilihat dari stabilitas politik dan ekonominya.

"Kalau S&P itu pasti pengaruh ke ekonomi dan investasi, karena dalam mengambil keputusan salah satunya mengenai rating kredit, terutama dari S&P. Jika belum mendapatkan peringkat tersebut, negara kita masih dianggap jelek, suatu waktu bisa kolaps," jelas Dewo.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Hubungan Internasional dan Investasi, Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, investor asing saat ini sangat konsen dengan perkembangan isu SARA di Indonesia.

"Isu faktor agama, ras, suku yang mereka khawatirkan. Makanya isu ini harus diselesaikan segera mungkin supaya jelas arahnya," Shinta menyarankan.

Sebelumnya, saat ini, investor terus memantau untuk menanamkan modal ke Indonesia karena masalah isu SARA dan radikalime yang sudah menyedot perhatian publik. "Sementara wait and see karena mereka nggak tahu mau ke mana," kata Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi.

Dia menerangkan, isu yang menyangkut SARA dan radikalisme mesti segera diselesaikan. Itu karena investor enggan mengambil risiko saat menanamkan modalnya. Apalagi, investor menaruh modalnya dalam jangka panjang.

"Saya pikir yang penting adalah, suasananya harus kita selesaikan. Masalah politik, radikalisme, SARA, saya pikir harus selesaikan dulu. Sehingga tidak mengkhawatirkan orang yang taruh uang disini. Kalau investasi kan jangka panjang," jelas dia. (Fik/Gdn)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya