Hubungan China-Korut, dari Sekutu Dekat Mengarah ke Seteru?

Hubungan bilateral Sino-Korea Utara berangsur-angsur merenggang, diduga akibat isu rudal nuklir.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Mei 2017, 08:15 WIB
Layar televisi menyiarkan berita terkait Korea Utara yang menembakkan rudal ke arah Laut Jepang, di stasiun kereta Seoul, Selasa (5/4). Tembakan dilancarkan jelang pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. (JUNG Yeon-Je/AFP)

Liputan6.com, Beijing - Baru-baru ini beredar kabar bahwa hubungan bilateral antara China dengan Korea Utara merenggang. Padahal, sejarah menunjukkan hubungan kedua negara konstan harmonis.

Relasi kedua negara dibangun pada 6 Oktober 1949 sejak China dan Korea Utara saling mengakui status diplomasi masing-masing. Setahun berikutnya, untuk menunjukkan kesungguhan aliansi, Negeri Tiongkok membantu Korea Utara melawan Korea Selatan yang didukung Amerika Serikat pada Perang Korea 1950.

Kemudian, pada 1961, kedua negara mengikrarkan kerja sama bilateralnya secara resmi dengan menandatangani Sino-North Korean Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty. Sejak saat itu, hubungan kedua negara semakin solid.

Bagi Korea Utara, China merupakan rekan dagang utamanya. Salah satu komoditas utama Pyogyang yang diekspor ke Beijing adalah batu bara. Sedangkan China merupakan penyuplai hampir separuh dari kebutuhan produk impor negara di utara Semenanjung Korea itu.

Hubungan relasi itu membuat Korea Utara sangat bergantung dengan Negeri Tirai Bambu. Apalagi hampir sebagian besar aktivitas ekonomi Pyongyang bersumber dari Tiongkok.

Namun, semua berubah dimulai sejak Korea Utara menginginkan kepemilikan persenjataan nuklir.

Pada 1962, kebijakan all-fortressization--upaya membentengi Korea Utara secara masif dengan mengandalkan sumber daya militer--diterapkan di Korea Utara. Sejak itu, sang pemimpin tertinggi, Kim Il-sung, bermimpi suatu saat nanti tanah airnya memiliki persenjataan nuklir.

Pada 6 Januari 2007, mimpi Kim Il-sung berhasil diwujudkan oleh anaknya, Kim Jong-il. Pada tahun itu, pemerintah Korea Utara mengklaim dan mengonfirmasi memiliki hulu ledak nuklir.

Ternyata, tindakan Korea Utara untuk memiliki hulu ledak nuklir tidak didukung oleh sekutu terdekatnya, China.

Empat tahun setelah Pyongyang mengumumkan kepemilikan senjata nuklir, pemerintah China perlahan-lahan mengendurkan relasi dengan Korea Utara.

Hal itu ditandai dengan pernyataan Perdana Menteri China Yang Jiechi pada 2013 yang mengatakan bahwa Tiongkok menolak sejumlah uji coba pengembangan persenjataan nuklir yang dilakukan Kim Jong-un. Namun, tes rudal nuklir dan misil jarak jauh terus dilakukan.

Selain itu, Korea Utara juga mulai membandel terhadap aliansi utamanya. Pada 5 Mei 2013, Korea Utara menyita kapal nelayan Tiongkok dan meminta uang tebusan sebagai biaya ganti pengembalian.

Sejak itu, hubungan berangsur-angsur terus mengendur.

Secara politik, China terus mendesak agar Kim Jong-un menghentikan tes rudal nuklirnya. Namun, sang pemimpin Korea Utara itu selalu membangkang.

Dan tibalah tahun 2017. Pada tahun ini, melonggarnya hubungan kedua negara tampak semakin jelas.

Merujuk News Week, Rabu (4/5/2017), Presiden China Xi Jinping menyatakan bahwa dirinya belum bersedia bertemu Kim Jong-un.

Selain itu, sejak pertemuan Presiden Xi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, China tampak mulai bersikap tegas terhadap negara di utara Semenanjung Korea itu.

Pada April 2017, setelah pertemuan dengan Trump, Presiden Xi memerintahkan 150.000 tentara untuk mengamankan perbatasan China-Korea Utara. Selain itu, pada bulan yang sama, China juga menghentikan impor batu-bara dari Korea Utara yang telah terlaksana selama 56 tahun.

Padahal, batu-bara merupakan komoditas ekspor Pyongyang yang menyumbang cukup besar pundi-pundi kas negara Korea Utara.

Kabar terbaru menyebutkan bahwa keduanya tengah melontarkan kritik melalui media pemerintah masing-masing terkait situasi di Semenanjung Korea.

Kantor berita pemerintah Korea Utara KCNA melontarkan kritik terbuka kepada China pada 4 Mei 2017. Kritik itu dilakukan karena China telah memberikan "komentar sembrono" tentang program rudal nuklir Korea Utara.

Sebelumnya, kantor berita Global Times yang didanai pemerintah Tiongkok menjelaskan bahwa Pyongyang merupakan penyebab tensi tinggi di Semenanjung Korea.

"China tidak akan mengizinkan wilayah timur lautnya dikontaminasi oleh aktivitas nuklir Korea Utara," ujar Global Times.

Kantor berita berbahasa Inggris yang didanai pemerintah itu juga mengingatkan bahwa tindakan Korea Utara yang provokatif pada beberapa waktu terakhir akan membuat renggang hubungan Sino-Korea Utara. Jika Pyongyang terus melakukan tindakan provokatif, Global Times mengingatkan bahwa China mampu membalas.

Salah satu balasan yang dapat dilakukan China adalah embargo minyak mentah ke Korea Utara, seperti yang ditulis Global Times.

Dugaan China yang berencana melakukan evakuasi warga negaranya dari Pyongyang juga muncul ke permukaan, seperti yang diwartakan oleh Radio Free Asia pada Selasa, 2 Mei 2017, yang memperoleh kabar dari informan anonim Kedutaan Besar China di Korea Utara.

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya