Ahli Hukum soal Tuntutan Ahok: Hukuman Tak Selalu soal Penjara

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Profesor Topo Santoso mengatakan jaksa berhak menuntut hukuman percobaan.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 20 Apr 2017, 17:03 WIB
Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki ruang persidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (11/4). Ahok akan mendengarkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang ke-18 ini. (Liputan6.com/Pool/Raisan Al Farisi)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dituntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) Profesor Topo Santoso mengatakan jaksa berhak menuntut hukuman percobaan.

Menurut dia, hukuman untuk terdakwa tidak selalu tentang penjara.

"Kan tidak selalu soal penjara. Ada juga tujuan untuk pembinaan, agar tidak mengulangi lagi. Menyadarkan tindakan yang dia lakukan tidak benar karena bisa belajar. Itu cukup. Tapi kembali lagi, itu adalah kewenangan jaksa," ujar Topo yang juga Dekan Fakultas Hukum UI itu ketika dihubungi Liputan6.com, di Jakarta, Kamis (20/4/2017).

Dia mengaku tidak bisa mengatakan tuntutan jaksa sudah tepat atau tidak. Sebab, kewenangan penuntutan memang ada di tangan jaksa. Namun, ketika menuntut seseorang, baik dengan hukuman percobaan maupun penjara, jaksa yakin terdakwa bersalah.

"Ya kalau dia menyatakan menuntut dihukum penjara meyakini bahwa terdakwa memenuhi unsur-unsurnya," kata Topo.

Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dituntut 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Hal ini disebutkan jaksa penuntut umum, Ali Mukartono, dalam sidang pembacaan tuntutan.

"Dengan ini kami meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yaitu 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun," ujar Ali di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4/2017).

Ali Mukartono menyebutkan Ahok terbukti bersalah dan terjerat pidana Pasal alternatif 156 tentang Penodaan Agama.

Kasus ini bermula dari adanya laporan tindak penistaan agama yang dilakukan Ahok dalam pernyataannya di tempat pelelangan ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada Selasa, 27 September 2016.

"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, enggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa enggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh enggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," kata Ali meniru perkataan Ahok di Kepulauan Seribu kala itu.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya