Rusia Veto Resolusi DK PBB untuk Selidiki Serangan Kimia Suriah

Rusia kembali membela rezim Bashar al-Assad dengan memveto rancangan resolusi DK PBB yang mendesak diadakannya penyelidikan oleh OPCW.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 13 Apr 2017, 07:48 WIB
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley mengecam keputusan Rusia untuk memveto rancangan resolusi DK PBB (AP/Bebeto Matthews)

Liputan6.com, New York - Dukungan Rusia terhadap sekutunya, rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad berlanjut di Dewan Keamanan PBB. Negeri Beruang Merah itu dilaporkan memveto rancangan resolusi DK PBB yang akan mengutuk serangan kimia di Provinsi Idlib serta mendesak Damaskus untuk bekerja sama dengan penyelidik dari Organisasi Anti-Senjata Kimia (OPCW).

Kelak dalam proses penyelidikan, pemerintah Suriah harus membeberkan informasi militer, termasuk log penerbangan, sejak hari serangan kimia dilancarkan, dan memberikan akses ke pangkalan udara.

Rancangan resolusi tersebut didukung oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Ketiganya bereaksi keras atas keputusan Rusia. Ini merupakan kedelapan kalinya, Kremlin melindungi Suriah di ranah DK PBB.

Serangan kimia di wilayah Khan Sheikhun yang dikuasai pemberontak pada 4 April, menewaskan lebih dari 80 orang. Barat menuding aksi tersebut didalangi rezim Assad.

AS bahkan merespons peristiwa itu dengan melancarkan intervensi perdananya dalam perang sipil Suriah. Setidaknya 59 rudal Tomahawk ditembakkan ke sebuah pangkalan angkatan udara Suriah.

Dari lima anggota tetap DK PBB yang memegang hak veto, China memilih abstain. Hal serupa juga dilakukan dua anggota tidak tetap DK PBB, yaitu Ethiopia dan Kazakhstan.

Lantas, 10 negara anggota tidak tetap DK PBB lainnya mendukung lahirnya resolusi tersebut. Namun Bolivia memilih bergabung dengan Rusia.

"Anda mengisolasi diri Anda sendiri dari masyarakat internasional setiap kali salah satu pesawat Assad menjatuhkan bom barel ke warga sipil dan setiap kali Assad berupaya untuk memicu kelaparan hingga menyebabkan kematian," ujar Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengutuk kebijakan Rusia seperti dilansir BBC, Kamis (13/4/2017).

Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson juga mengomentari keputusan Rusia. Ia mengatakan, Moskow berada di sisi argumen yang salah.

Adapun Presiden Prancis Francois Hollande berpendapat, Rusia mengemban tugas yang berat untuk terus melindungi Assad dan memblokir respons masyarakat internasional.

Meski menuai kecaman, Wakil Dubes Rusia untuk PBB Vladimir Safronkoy menjelaskan bahwa sikap negaranya telah "ditakdirkan" sejak awal. Moskow menyerukan diadakannya penyelidikan internasional independen.

"Hasilnya telah diketahui sebelumnya karena kami konsisten menyatakan ketidaksetujuan kami dengan isi resolusi," ucap diplomat Rusia itu.

Sementara itu, di Washington, dalam sebuah konferensi pers bersama dengan sekretaris jenderal NATO, Presiden Trump ditanya wartawan terkait kemungkinan Suriah melancarkan serangan kimia tanpa sepengetahuan Rusia. Ia tidak menjawabnya dengan lugas.

"Saya pikir itu tentu saja mungkin. Saya lebih suka bahwa mereka (Rusia) tidak tahu, tapi yang pasti mereka bisa saja memilikinya," jawab Trump.

Presiden ke-45 AS itu juga menyebut sikap abstain China "luar biasa", tanpa menjelaskan apakah ia telah lebih dulu membahas isu Suriah dengan Presiden Xi Jinping. Yang pasti Trump mengatakan, ia tidak terlalu terkejut dengan keputusan China terkait resolusi untuk Suriah.

Sejak perang sipil Suriah dimulai pada 2011, China tercatat telah enam kali memveto resolusi DK PBB.

Sejak awal serangan kimia di Suriah mencuat, Presiden Rusia Vladimir Putin membantah tudingan bahwa rezim Assad mendalangi peristiwa keji itu. Kepada stasiun televisi Mir, Putin mengklaim kepercayaan antara AS dan Rusia telah memburuk di bawah kepemimpinan Trump.

Di tengah ketegangan hubungan AS-Rusia, beberapa saat lalu Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson melakukan lawatan ke Moskow. Tillerson mengatakan, hubungan dua negara berada pada titik rendah dan harus ditingkatkan.

Setelah mengadakan pertemuan selama dua jam dengan mitranya, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, mantan bos Exxon Mobil itu menegaskan bahwa dua kekuatan nuklir utama dunia tidak bisa memiliki hubungan seperti itu.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya