Ini Kendala Bila Tiap SBPU Sediakan BBG

Pemerintah mendorong pengembangan konsumsi bahan bakar gas pada kendaraan.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 14 Mar 2017, 17:12 WIB
Sejumlah pengendara motor antre untuk mengisi bahan bakar minyak (BBM) di SPBU, Jakarta, Kamis (5/1). PT Pertamina (Persero) menaikan harga Bahan Bakar Minyak Umum jenis Pertamax Series, Pertalite, dan Dexlite Rp 300 per liter. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah telah memiliki gagasan untuk mendorong pengembangan konsumsi Bahan Bakar Gas (BBG) pada kendaraan, dengan mewajibkan Stasiun Bahan Bakar Umum (SPBU) menyediakan BBG.

Manager CNG & City Gas PT Pertamina (Persero) Ryrien Marisa menuturkan, untuk menyediakan BBG dengan membangun SPBG yang terintegrasi pada setiap SPBU akan mengalami kendala lahan, karena SPBU saat ini luas lahannya sangat terbatas‎.

"Bisa dilihat lahan SPBU sekarang kecil-kecil, karena areanya kecil,"kata Ryrien, disela acara 11th Natural Gas Vehicles and Infrastructure Indonesia Forum and Exhibition ke-11, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Selasa (14/3/2017).‎

Ryrien mengungkapkan, selain membangun alat penyaluran (dispenser), untuk menyediakan BBG ‎harus disertakan beberapa alat. Yaitu alat pembersih gas yang dialirkan sebelum masuk ke tabung dikendaraan (scruber), alat pemisah air dari gas (dryer) dan kompresor untuk mendorong gas keluar dari tangki penyimpanan ke tabung di kendaraan, alat tersebut tentunya membutuhkan lahan yang lebih luas.

"Jadi butuh kita cari seleksi mana yang muat karena ada beberapa alat besar yang harus disediakan di SPBU nanti kalau mau layani BBG harus ada scruber, dryer, kompresor di luar yang dispensernya. Kalau BBM  bisa taruh di bawah tanah kalau BBG tidak bisa harus di atas, itu kendalanya," papar Ryrien.

Selain lahan kendala berikutnya adalah pendistribusian BBG ke SPBU, jika menggunakan mobil tangki akan meningkatkan biaya. Sementara harga BBG saat ini belum sesuai dengan keekonomian. Untuk diketahui, saat ini BBG dijual Rp. 3.100‎ per liter setara premium (lsp), sedangkan keekonomiannya Rp 4.500 sampai Rp. 5 ribu per lsp.

"Kendalanya biaya angkut itu tidak tercover oleh biaya harga BBG yang ditetapkan Pemerintah siapa yang tangung itu, itu dibebankan ke badan usaha seperti Pertamina dan PGN jadi kerugian bagi kami misalnya mau dikembangkan masif  jadi masalah," tutur Ryrien

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya