KOLOM BAHASA: Eufimisme dan Metafora dalam Bahasa Indonesia

Eufimisme dan Metafora bisa digunakan untuk memperkaya dan memperindah tulisan.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 11 Mar 2017, 09:07 WIB
Kolom Bahasa Liputan6.com (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Sudah sejak lama disadari bahasa Indonesia memiliki tingkat kesopanan dan kehalusan yang berlapis-lapis. Ungkapan “bilang begini maksudnya begitu” barangkali bisa menjadi petunjuk yang tepat betapa eufimisme dan metafora bertebaran dalam bahasa yang kita pakai sehari-hari.

Tidak percaya? Coba tengok percakapan sehari-hari ini.

Ibu A: Bagaimana, kamu boleh pergi tidak besok?
Ibu B: Coba nanti saya tanyakan dulu sama ayahnya anak-anak ya.

Atau tanpa sadar kita pun sering kali melakukan percakapan yang ternyata memperindah bahasa. Dalam teks karya sastra klasik terbitan Balai Pustaka, misalnya, tak sekali-dua kali kita membaca, “Aduhai pangeran kecil itu buah hati dan biji mata kedua orang tuanya.”

Ranah jurnalistik pun tidak lepas dari kecenderungan berbahasa yang bersopan santun ini. Tanpa disadari, ada perasaan ewuh-pakewuh, sehingga digunakanlah penghalusan atau pengindahan kata-kata. Namun bisa juga kesan bahasa eufimisme dan metafora itu memang indah, sehingga penulis pun terbuai hendak memakainya.

Di sisi lain, ranah jurnalistik memang memungkinkan penggunaan eufimisme dan metafora ini. Alasannya, bahasa jurnalistik merupakan bahasa yang berada di tengah-tengah bahasa ilmiah dan sastra.

Konsep "seni" pun acap diutarakan oleh mereka yang memilih bermain-main dengan pilihan kata saat hendak menulis berita. Adanya perasaan bosan dengan kata-kata yang itu-itu saja menjadi salah satu dalih.

Maka, kreativitas adalah kuncinya. Dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, sejumlah produk bahasa seperti peribahasa atau majas kerap disebut sebagai “gaya berbahasa”. Di situlah kita bisa menemukan adanya bentuk perumpamaan, pengandaian, perbandingan, hingga kiasan.

Namun kadang-kadang, ada pula maksud tersembunyi dalam eufimisme yang perlu dipakai secara berhati-hati agar tidak keliru dari maksudnya yang lebih tepat.

Contohnya:
a. Polisi amankan 59 WNA di 4 lokasi terkait sindikat cyber fraud.

b. Menurut Kapolda, hingga kini masih ada beberapa gelintir oknum yang masih melakukan penolakan terkait hal itu.

c. Menurut polisi, kedua korban sudah divisum. Hasilnya, terdapat luka pada alat vital kedua bocah tersebut.

Ada dua makna yang terdapat dalam gaya bahasa eufimisme, yakni penghalusan dan makna kebohongan. Pada contoh (a) dan (b), eufimisme pada kata amankan dan oknum memiliki makna yang bersifat “menipu” pembaca. Sebab, polisi tidak tepat bila disebut mengamankan, tetapi lebih tepat menangkap.

Sementara oknum dalam KBBI dijelaskan sebagai ‘n orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Ini merupakan penghalusan, sebab kenapakah harus disebut oknum dan bukannya anggota polisi saja.

Adapun makna pada contoh (c) menunjukkan bahwa eufimisme dipakai untuk mengaluskan tabu dalam masyarakat. Orang Indonesia tampaknya masih segan menyebut vagina untuk alat kelamin perempuan dan penis untuk alat kelamin laki-laki. Kata alat vital pun dipakai, padahal maknanya juga kurang tepat. Akan lebih baik jika menyebut alat kelamin, misalnya.

Tentang metafora dalam jurnalistik sayangnya tak berkembang seperti eufimisme. Barangkali berita yang sifatnya straight news jarang memberi kesempatan bagi penulisnya untuk bermain-main dengan bahasa.

Namun bisa saja diselipkan satu-dua demi kesan memperindah itu. Sebab, bahasa jurnalistik tentu saja memerlukan sedikit tambahan ornamen agar lebih berkesan dan menarik perhatian pembacanya.

Contohnya:
a. 7 Jam Si Jago Merah Melalap Pasar Senen
b. Liverpool Paksa MU Bertekuk Lutut pada Leg I
c. Juragan Angkot Berhasil Mempersunting Empat Wanita

Demikianlah perumpamaan tentu bukan pertanda kemunduran, tetapi tanda kelincahan dan keelokan mempergunakan bahasa Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya