Netizen: Lebih Baik Setop Main Medsos Ketimbang Berhenti Merokok

Studi terbaru mengungkap kebanyakan netizen memilih lebih baik setop main media sosial daripada berhenti merokok. Apa alasannya?

oleh Jeko I. R. diperbarui 09 Jan 2017, 12:20 WIB
Diharapkan para pengguna media sosial, seperti penggemar atau haters harus lebih bijaksana dalam berkomentar.

Liputan6.com, London - Hasil studi terbaru terkait perilaku berinternet pada tahun ini cukup mengejutkan. Kebanyakan netizen mengaku, mereka lebih memilih untuk berhenti menggunakan media sosial (medsos) ketimbang harus berhenti merokok.

Sebagaimana dilansir dari laman Mirror, Senin (9/1/2017), studi yang dilakukan oleh lembaga layanan masyarakat Bidvine ini menyasar 1.500 responden dengan pertanyaan: lebih baik berhenti main medsos atau merokok. Hasilnya, 92 persen mengatakan ingin berhenti main medsos, sedangkan delapan (8) persen sisanya mau setop merokok.

CEO Bidvine Sohrab Jahanbani, menjelaskan studi tersebut memperlihatkan bahwa kebanyakan netizen merasa medsos memberikan dampak berpengaruh kepada kesehatan mental mereka.

“Studi ini sangat menarik karena netizen menyadari bermain medsos—membukanya setiap hari—bisa memberikan efek negatif. Meski demikian, merokok pun juga sama, cuma efeknya ke kesehatan fisik,” kata Jahanbani.

Hasil studi ini pun sebelumnya berhubungan dengan studi yang memelajari bahwa Facebook dan Instagram—dua medsos yang sering digunakan netizen—bisa membuat penggunanya depresi. Studi yang disponsori oleh The National Institue of Mental Health itu memaparkan hasil riset yang telah mereka lakukan terhadap remaja di wilayah Amerika Serikat. 

Mereka mengidentifikasi bahwa terdapat hubungan begitu kuat antara penggunaaan media sosial dengan emosi penggunanya. Terlebih pada konten yang terkandung di kedua media sosial populer itu.

2 dari 2 halaman

Facebook dan Instagram Picu Depresi

Disebutkan, level depresi bisa meningkat seiring dengan seberapa tinggi nilai konten yang dimuat. Selain konten, kehadiran rasa canggung dan tidak percaya diri rupanya juga disebabkan oleh kurangnya antusiasme followers yang didapatkan oleh si pengguna di akun mereka.

Sebagai contoh, pengguna Facebook dan Instagram akan merasa diacuhkan saat mereka memuat konten (berupa status, foto, video atau apa pun) dan tidak mendapatkan 'Likes' atau bahkan respons yang sesuai dengan harapan mereka.

Hal inilah yang dipandang salah. Pasalnya, penggunaan media sosial sudah bergerak ke arah kompetisi memenangkan popularitas.

Mark Widdowson, salah seorang pengamat psikologi remaja yang juga turut andil dalam studi ini mengatakan, kompetisi tersebut muncul dari peer pressure pengguna lain yang ada di media sosial.

"Konten yang dimuat bisa saja berupa foto atau video yang memperlihatkan ingar-bingar pesta, gaya hidup, kuliner atau isu sensitif. Saat pengguna media sosial melihatnya, sentimen yang didapat bisa negatif. Hal tersebut disebabkan pengguna itu tidak dalam taraf yang sama dengan konten yang dimuat," tuturnya.

Widdowson yang juga merupakan dosen di University of Salford ini menegaskan bahwa pengguna media sosial seharusnya merefleksikan diri bahwa 'alat' yang mereka gunakan bukanlah cerminan yang harus ditiru.

"Media sosial merupakan sebuah opsi yang hanya memiliki nilai untuk berkomunikasi dengan teman terdekat Anda. Itu saja kuncinya. Jangan dilebih-lebihkan," tutupnya.

(Jek/Why)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya