Tanggapan Akademisi soal Vonis Kartel Ayam oleh KPPU

Guru Besar Ilmu Ekonomi UI Ine Minara menuturkan kalau usaha kecil peternakan dan pengolahan daging ayam perlu kolaborasi dengan usaha besar

oleh Septian Deny diperbarui 14 Des 2016, 12:23 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Akademisi dari berbagai universitas mempertanyakan berbagai vonis kartel yang telah dijatuhkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) selama ini. Salah satunya terkait kasus pengaturan produksi bibit ayam pedaging (boiler).

Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Ine Minara Ruky mengatakan, dalam kasus tersebut ada campur tangan dari pemerintah. ‎Sebab sebelumnya keputusan untuk melakukan afkir (pemusnahan) dini bibit ayam (parent stock) merupakan perintah dari Kementerian Pertanian (Kementan) kepada perusahaan peternakan ayam.

"Keputusan yang disebut dengan kartel oleh KPPU, ini adalah kebijakan pemerintah. Pemerintah ambil kebijakan dan pemerintah memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang tidak lakukan ini," ujar dia dalam Seminar Publik Eksaminasi Putusan-Putusan KPPU di Jakarta, Rabu (14/12/2016).

Ine menuturkan, kesepakatan bisnis yang menyerupai kartel seperti ini sebenarnya merupakan hal yang wajar di negara lain. Sebagai contoh di Belanda, kartel publik seperti ini telah biasa dilakukan dengan izin dari pemerintah dan dilakukan secara transparan.

"Di Belanda kartel publik seperti ini tidak masalah, asal dilakukan secara transparan. Jadi mereka berbagi informasi, dengan kolaborasi, maka perusahaan bertemu dan bersepakat dengan pemerintah‎. Ini jadi pembelajaran bagaimana menangani sektor yang diatur‎ pemerintah," kata dia.

Selain itu, lanjut Ine, skala usaha dalam peternakan dan pengolahan daging ayam mulai dari skala besar hingga kecil. Jika usaha kecil dipaksakan untuk bersaing dengan usaha besar, maka akan mati. Yang harus didorong adalah bagaimana usaha kecil ini berkolaborasi dengan usaha skala besar.

"Dalam peternakan ayam ada tiga kelompok, yaitu besar, menengah, dan  kecil. Dalam UU (Persaingan Usaha), usaha itu harus bisa hidup, tapi kalau ini didorong dengan persaingan, maka mati yang kecil," tutur dia.

Sebelumnya diberitakan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menjatuhkan denda senilai total Rp 119,8 miliar kepada sejumlah perusahaan terkait Pengaturan Produksi Bibit Ayam Pedaging (Broiler) di Indonesia.

Ini seiring selesainya pemeriksaan terhadap Perkara Nomor 02/KPPU-I/2016 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengaturan Produksi Bibit Ayam Pedaging (Broiler) di Indonesia.

KPPU menjatuhkan sanksi pada sejumlah perusahaan lantaran terbukti melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Perusahaan tersebut antara lain PT Charoen Pokphand Indonesia, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo Feedmill, PT CJ-PIA, PT Taat Indah Bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, PT Hybro Indonesia, PT Wonokoyo Jaya Corporindo, CV Missouri, PT Reza Perkasa, dan PT Satwa Borneo Jaya.

KPPU menyatakan perusahaan-perusahaan tersebut telah melakukan kesepakatan pemotongan atau pengafkiran induk ayam pedaging (parent stock) dan pemotongan hatchery egg final stock pada 2015.

"Ketentuan Undang-Undang yang diduga dilanggar oleh para Terlapor adalah Dugaan Pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengaturan Produksi Bibit Ayam Pedaging (Broiler) di Indonesia. Di mana dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999," ‎ujar Ketua KPPU  Syarkawi Rauf dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat 14 Oktober 2016.

KPPU menjelaskan, isi pasal 11‎ tersebut yaitu pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.


POPULER

Berita Terkini Selengkapnya