Pasca-Pembunuhan Pastor, Presiden Hollande Temui 5 Pemuka Agama

Penyanderaan di Gereja Saint-Etienne-du-Rouvray yang terletak di Kota Normandia, Prancis utara memicu trauma.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 27 Jul 2016, 18:20 WIB
Presiden Francois Hollande di lokasi penyanderaan di Gereja Saint-Etienne-du-Rouvray. (Reuters)

Liputan6.com, Normandia - Insiden penyanderaan sejumlah orang di Gereja Saint-Etienne-du-Rouvray di Kota Normandia, bagian selatan Rouen, Prancis utara meninggalkan trauma di benak banyak orang.

Presiden Prancis, Francois Hollande tak mau insiden yang dilakukan oknum tertentu merusak kerukunan beragama di negaranya. Ia pun mengadakan pertemuan perwakilan umat Kristen, Muslim, Yahudi dan Buddha

Pada kesempatan itu, para pemuka agama di Prancis meminta keamanan yang lebih di tempat-tempat ibadah. Terlebih setelah pastor terkemuka di Normandia, Jacques Hamel tewas saat memimpin misa pagi di gerejanya.

"Para pemuka agama menginginkan agar tempat ibadah kami menjadi obyek pengamanan, yang berkelanjutan. Bahkan tempat ibadah paling sederhana bisa dijadikan target serangan," tutur Dalil Boubakeur, pemimpin Masjid Agung Paris seperti dikutip dari BBC, Rabu (27/7/2016).

Boubakeur menyatakan kesedihan mendalam atas nama Muslim Prancis, di mana ia menggambarkan teror gereja tersebut sebagai penistaan agama.

Uskup Agung Paris, Andre Vingt-Trois lantas memuji hubungan yang harmonis antarpemeluk agama Prancis.

"Kita tidak harus membiarkan diri kita terpancing oleh permainan politik Daesh ini," kata Andre Vingt-Trois merujuk pada kelompok ISIS .

Ia menambahkan, kelompok teroris tersebut ingin ingin anak-anak, bahkan dari keluarga yang sama, saling berselisih.

Dalam pertemuan itu, Hollande menyerukan persatuan dan memperingatkan bahwa perang melawan terorisme butuh waktu lama.

"Demokrasi kita adalah target, dan itu akan menjadi perisai kita. Mari kita berdiri bersama-sama. Kita akan memenangkan perang ini," ucap Hollande.

Insiden 2 orang melakukan penyanderaan di sebuah gereja di Prancis utara itu terjadi pada Selasa 26 Juli 2016. Sejauh ini hanya satu dari dua penyerang yang berhasil diidentifikasi.

Ia adalah Adel Kermiche, pemuda 19 tahun yang telah dua kali mencoba ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.

Kermiche berstatus tahanan rumah. Menurut media Prancis Le Monde, kantor kejaksaan sebelumnya telah meminta agar dia tetap berada di tahanan. Namun, permintaan itu ditepis hakim. 

Pemuda itu pun lalu dibebaskan, dengan syarat terus mengenakan tag elektronik-- yang memastikan bahwa ia tetap di rumah, kecuali pada pagi hari kerja.

Dan pada Selasa pagi itu, ia mendatangi gereja dan melakukan tindakan sadisnya. "Salah satu dari empat orang disandera menderita luka pisau parah," kata jaksa Francois Molins.

Prancis masih belum pulih dari serangan Bastille Day di Nice awal bulan Juli ini, ketika sebuah truk yang dikendarai warga Tunisia-Prancis, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel menabrak kerumunan dan menewaskan lebih dari 80 orang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya