Ketua KPK: Ada Bupati Terima Suap dari CPNS Rp 50 Juta per Orang

Ketua KPK mengatakan, korupsi saat ini dapat terjadi kapanpun dan di manapun

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 26 Mei 2016, 12:18 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo tertawa usai rapat koordinasi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/2). Rapat membahas soal tindak lanjut dan pengawasan atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara serta sektor energi tahun 2016. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan telah menangkap seorang bupati akibat melakukan tindak korupsi. Pejabat daerah itu diringkus karena menerima uang sebesar Rp 50 juta ‎dalam rangka penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Hal ini disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo‎ saat memberi sambutan di acara Rapat Koordinasi Nasional Kepegawaian 2016, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (26/5/2016).

"Kami menangkap bupati yang tidak bisa disebut namanya, di mana kekayaannya berasal dari rekrutmen PNS, karena dia menerima Rp 50 juta dari satu orang PNS. Belum untuk jatah calonya, jadi per PNS harus menyiapkan uang lebih dari Rp 50 juta bebannya," tegas Agus.

Agus mengatakan, korupsi saat ini dapat terjadi kapanpun dan di manapun. Korupsi lahir karena adanya kesempatan, gaji yang rendah, tekanan, dan tidak membawa kehidupan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Jahatnya lagi, ‎melakukan kejahatan korupsi sudah mulai mengajak anak.

"Yang suruh menerima gratifikasi adalah anaknya. Tapi saat ditangkap, duitnya dibuang ke got. Padahal yang dibolehkan PNS untuk menerima sesuatu (suvenir) dari orang lain ‎saat acara pernikahan misalnya, hanya Rp 1 juta. Kalau lebih dari itu namanya suap. Sedangkan di luar negeri batasannya US$ 50," Agus menuturkan.

‎Dia menegaskan, korupsi telah menimbulkan peningkatan kemiskinan di Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia sudah mencapai 11 persen. Jika dikalikan jumlah penduduk Indonesia 250 juta jiwa, maka angka kemiskinan sekitar 27 juta jiwa orang miskin atau hidup di bawah garis kemiskinan.

"Korupsi terjadi di mana-mana. Kita harus akui integritas Seladi, seorang Polisi yang bekerja sebagai aparatur negara, sekaligus menjadi pemulung. Tapi di sisi ini, kita harus merasa bersalah, kenapa ‎kita tidak bisa memberi gaji cukup kepada Seladi, sehingga dia nyambi jadi pemulung," kata Agus kecewa.

Oleh sebab itu, dia berharap agar pemerintah dapat menuntaskan reformasi birokrasi bukan hanya persoalan gaji. Tapi juga menyangkut pengawasan yang tepat agar dapat mencegah semakin maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme.

"PNS sudah digaji tinggi masih korupsi kok, seperti Gayus Tambunan. Jadi reformasi birokrasi harus tuntas, kalau gaji naik, kinerja meningkat, budaya kerja, juga harus diiringi peningkatan pengawasan secara terintegrasi," pungkas Agus.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya