Pemilu, Demokrasi, dan Keuntungan "Incumbent"

Setelah pemilu, penting untuk memikirkan bagaimana menghubungkan pemilu dan demokrasi. Sebabnya sederhana: negara paling otoritarian pun selalu menyelenggarakan pemilu dengan beragam alasan. Alasan utamanya tentu adalah untuk memberi legitimasi bagi sekelompok orang yang berkuasa.

oleh Liputan6 diperbarui 17 Agu 2009, 11:10 WIB
Philips J. Vermonte

Setelah pemilu, penting untuk memikirkan bagaimana menghubungkan pemilu dan demokrasi. Sebabnya sederhana: negara paling otoritarian pun selalu menyelenggarakan pemilu dengan beragam alasan. Alasan utamanya tentu adalah untuk memberi legitimasi bagi sekelompok orang yang berkuasa. Selama 32 tahun, Orde Baru menyelenggarakan pemilu dengan Golkar sebagai pemenang rutinnya. Rezim-rezim otoritarian lain pun demikian adanya. Di Mexico, rezim partai PRI yang berkuasa selama lebih dari 70 tahun pun rutin menyelenggarakan pemilu. Golkar baru gagal memenangkan pemilu sejak 1999, setelah rezim Orde Baru setahun sebelumnya. PRI kehilangan kekuasaan pada pemilu Meksiko tahun 2000.

Berkaca dari pengalaman rezim Orde Baru dan rezim PRI di Meksiko kita dapat melihat satu hal yang amat membedakan pemilu demokratis dari pemilu otoritarian: dalam pemilu demokratis terdapat peluang sangat besar bagi pemilih secara kolektif untuk bisa memutuskan mengganti pemerintahan partai yang sedang berkuasa dengan pemerintahan dari partai lain. Artinya, peluang kontestasi terbuka lebar.

Menyimak situasi politik setelah rangkaian pemilu 2009, tuduhan pelanggaran sistematis dalam pemilu lalu adalah tuduhan serius. Secara tidak langsung, tuduhan itu bermuara pada tudingan bahwa  ada usaha-usaha dari pemerintahan/partai incumbent (yang sedang berkuasa) untuk menekan kontestasi. Tuduhan semakin miring mengingat kenyataan bahwa, sebagai incumbent, SBY memenangkan pemilu dengan suara cukup telak.

Isu pemilu adalah isu sensitif. Pihak berkuasa membutuhkannya untuk melegitimasi kekuasaan. Sementara tidak jarang pihak yang kalah berusaha mendelegitimasi dengan mempersoalkan pelaksanaan pemilu yang berantakan. Pasangan incumbent yang ikut dalam pemilu senantiasa menjadi pihak yang terpojok.

Sebetulnya, pasangan incumbent selalu diuntungkan. Misalnya, tidak seperti pihak oposisi, pasangan incumbent tidak kesulitan mengumpulkan dana kampanye. Pemilu 2009 lalu memperlihatkan bagaimana tim kampanye SBY/Boediono tampak didukung dana yang lebih besar.

Sebuah studi oleh David Mayhew (2008) tentang pemilihan presiden Amerika sejak tahun 1792 memperlihatkan, incumbent yang berhasil memenangkan kembali kursi presidennya berjumlah jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang gagal. Fungsi paling sederhana dan paling fundamental dari pemilu dalam sistem demokrasi, sebagaimana diajukan G. Bingham Powell Jr (2000), adalah mengevaluasi pemerintahan yang sedang berjalan. Pemilu menyediakan kesempatan bagi para pemilih untuk mengevaluasi pemerintahan incumbent secara periodik.

Lalu, mengapa pasangan incumbent selalu berada dalam posisi diuntungkan? Sebabnya adalah bahwa para pemilih selalu memiliki pengetahuan/informasi politik yang terbatas. Informasi mengenai incumbent adalah informasi yang paling umum diketahui oleh para pemilih.

Dalam kaitannya dengan pemilu kita, ada sebuah hal menarik  dalam konteks Indonesia yaitu "kebiasaan" SBY untuk menciptakan koalisi gemuk alias sebanyak mungkin merangkul partai dengan memberi jabatan di kabinet. Walau SBY sebagai presiden bisa mengklaim sebagai pengambil kata akhir, proses pengambilan keputusan pada dasarnya menjadi lebih terdesentralisasi. Masih segar dalam ingatan keadaan saat Jusuf Kalla sebagai wakil presiden pada banyak kesempatan dinilai lebih tangkas dalam mengambil dan menjalankan keputusan dalam pemerintahan SBY periode 2004-2009.

Uniknya, keadaan ini menguntungkan SBY sebagai incumbent dalam pemilu 2009. Fungsi pemilu untuk memungkinkan pemilih untuk tidak lagi memilih incumbent akan lebih mungkin terjadi bila di mata pemilih tampak jelas siapa pengambil keputusan utama dalam setiap kebijakan pemerintahan incumbent. Koalisi gemuk dalam kabinet sedikit banyak mengurangi kejelasan yang dimaksud di mata pemilih.

Bila kebijakan yang diambil tidak populer di mata pemilih, misalnya kebijakan menaikkan harga BBM, SBY sebagai incumbent dapat merujuk pada kenyataan bahwa partai-partai yang diakomodasi dalam kabinet menyetujui kebijakan itu. Bila kebijakan yang diambil populer dan disukai pemilih, incumbent dengan mudah mengklaimnya sebagai kebijakannya. Contohnya adalah kebijakan BLT tempo hari yang lebih banyak diasosiasikan kepada SBY dibandingkan dengan Jusuf Kalla yang juga memainkan peran instrumental dalam prosesnya.

Karena itu, kemenangan SBY pada pemilu lalu pada dasarnya konsisten dengan proposisi mengenai incumbent yang diuntungkan. Incumbent yang kalah dalam pemilu umumnya adalah mereka yang performanya jauh dari memuaskan. Sementara, pemerintahan SBY dalam periode 2004-2009 harus diakui berjalan relatif baik.

Namun, study Mayhem yang dikutip di atas memperlihatkan sebuah temuan lain. Ada masa ketika partai incumbent mencalonkan calon baru, karena presiden incumbent dari partai itu tak bisa mencalonkan diri kembali. Misalnya, karena dibatasi masa jabatan. Nah, dalam keadaan begini, partai incumbent yang berhasil menang pemilu lagi (dengan calon baru) sama jumlahnya dengan yang gagal. Artinya, kemungkinan partai incumbent untuk menang atau kalah sama besar jika memajukan figur baru.

Mengingat secara konstitusional SBY tidak mungkin lagi mencalonkan diri pada pemilu 2014 nanti, saat itu pemilih memiliki opsi luas untuk tidak hanya mengevaluasi pemerintahan dan partai incumbent. Pemilih juga memiliki opsi untuk mempertimbangkan calon/partai lain di luar pemerintahan/partai Demokrat. Artinya, pemilu 2014 akan berjalan jauh lebih kompetitif dibandingkan pemilu 2009 yang membosankan karena terlalu bisa diduga hasilnya.


Penulis adalah peneliti CSIS dan mahasiswa program doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, Amerika Serikat.





 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya