Hasil Perkebunan Turun, Petani Mengeluh Kesejahteraan Berkurang

Meski mampu menyerap banyak tenaga kerja, kesejahteraan pekerja di sektor perkebunan masih tergolong rendah.

oleh Septian Deny diperbarui 02 Des 2015, 17:05 WIB
Hari Pangan Sedunia tahun ini mengambil tema "Pemberdayaan Petani Sebagai Penggerak Ekonomi Menuju Kedaulatan Pangan."

Liputan6.com, Jakarta - Meski mampu menyerap banyak tenaga kerja, kesejahteraan pekerja di sektor perkebunan masih tergolong rendah. Hal ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya harga hasil perkebunan di tingkat petani serta kurangnya dukungan pemerintah terhadap sektor ini.

Ketua Umum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan petani di sektor perkebunan saat ini rata-rata hanya memiliki lahan kurang dari 2 hektare (ha) per kepala keluarga. Dengan luas lahan seperti itu, setiap keluarga petani hanya mendapatkan Rp 1,5 juta setiap kali panen.

"Sebagai contoh, petani karet hanya mendapatkan hasil kotor rata-rata 700 kilogram (kg). Jika dikalikan Rp 5.500 (harga karet) itu berarti Rp 3,85 juta. Jika dihitung bersih, Rp 3,85 juta dikurang 40 persen (modal tanam dan perawatan), berarti hanya Rp 1,54 juta," ujarnya di Jakarta, Rabu (2/12/2015).

Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami para petani di sektor sawit. Meski sawit dinilai sebagai komoditas ekspor dan strategis, kesejahteraan petaninya masih rendah.

"Petani sawit menghasilkan penghasilan kotor rata-rata 4.200 kg kemudian dikalikan Rp 900, berarti Rp 3,78 juta. Jika dihitung bersih, maka diambil 50 persen. Penghasilan bersih mereka hanya Rp 1,89 juta," kata dia.

Tidak hanya itu, para petani di sektor perkebunan juga minim bantuan dari pemerintah. Salah satu contohnya, sektor perkebunan tidak mendapatkan subsidi pupuk. Padahal, harga pupuk untuk tanaman kebun juga tidak murah.

"Ini ditambah dengan tingginya harga pupuk nonsubsidi, tidak adanya pengetahuan dan permodalan petani kebun rakyat untuk melakukan pengolahan pasca-panen. Saat ini petani banyak melakukan beberapa upaya penghematan biaya produksi. Itu karena masih sulitnya mencari bibit tanaman yang terjamin mutunya," ujarnya.**

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya