Manusia Dwibahasa Lebih Cepat Pulih dari Stroke

Jangan malas belajar lebih dari satu bahasa. Penelitian membuktikan bahwa seorang yang dwibahasa lebih cepat pulih dari stroke, lho.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 30 Nov 2015, 22:00 WIB
Jangan malas belajar lebih dari satu bahasa. Penelitian membuktikan bahwa seorang yang dwibahasa lebih cepat pulih dari stroke, lho.

Liputan6.com, Edinburgh - Belajar bahasa baru bukan saja memperluas pergaulan, tapi juga memiliki sejumlah manfaat kognitif tersembunyi yang dapat melindungi otak ketika mengalami gangguan serius kesehatan semisal stroke atau pikun.

Dikutip dari Science Alert pada Senin (30/11/2015), para peneliti dari Inggris dan India mengumpulkan data dari 608 orang pasien stroke di Hyderabad, India, dan mendapati bahwa orang yang menguasai lebih dari satu bahasa memiliki kemungkinan lebih besar untuk pulih dari stroke daripada orang yang berbahasa tunggal.

Peningkatan kesembuhan itu juga sangat berjarak. Orang dengan kemampuan dwibahasa ataupun lebih disebutkan dua kali lebih mungkin untuk memulihkan fungsi kognitif normal setelah serangan stroke jika dibandingkan mereka yang hanya mampu bicara satu bahasa. Hal itu dicapai bahkan dengan memperhitungkan sejumlah faktor lain semisal merokok, tekanan darah tinggi, diabetes, dan usia.

Menurut para peneliti, tantangan mental terus-menerus pada orang yang berbahasa lebih dari satu kemungkinan meningkatkan cadangan kognitif seseorang, sehingga mengarah kepada meningkatnya kemampuan untuk menghadapi kerusakan otak yang dikarenakan kejadian seperti stroke.

“Dwibahasa membuat seseorang bolak-balik dari satu bahasa ke bahasa lainnya, sehingga walaupun mereka menekan satu bahasa, mereka harus mengaktifkan bahasa lainnya untuk berkomunikasi,” kata Thomas Bak, salah satu penulis dalam penelitian ini.

Peneliti dari University of Edinburgh ini melanjutkan, “Berbicara dengan berganti-ganti bahasa ini secara praktis memberi pelatihan terus-menerus pada otak dan ini kemungkinan menjadi suatu faktor yang membantu pemulihan pasien stroke.”

Selain menunjukkan peningkatan kemungkinan ataupun pemulihan keadaan mental setelah stroke, orang dwibahasa—yang dalam penelitian ini dijelaskan sebagai orang yang berbicara setidaknya dua bahasa—juga memberikan kinerja yang lebih baik dalam ujian-ujian pasca-stroke yang dipakai untuk mengukur perhatian, bersama-sama dengan kemampuan mereka untuk mengumpulkan dan menyusun informasi.

Penting untuk dicatat di sini bahwa hasil pemulihan yang mengesankan oleh para pasien dalam penelitian ini kemungkinan ada kaitannya dengan karakteristik bahasa di daerah tempat penelitian ini dilakukan.

Sebagaiman dilaporkan dalam makalah yang diterbitkan dalam jurnal Stroke, kota Hyderabad adalah kota multi-budaya dengan begitu banyak bahasa, yaitu Telugu, Urdu, Hindi, dan Inggris. Dengan demikian, penduduk di sana mengalami ‘pelatihan otak’ menghadapi bahasa-bahasa yang berbeda, sehingga hasil yang didapat dari penelitian di sana belum tentu didapatkan di daerah lain.

Menurut Suvarna Alladi, seorang ahli syaraf di Nizam’s Institute of Medical Sciences (NIMS) di kota Hyderabad, “Gonta-ganti bahasa merupakan kenyataan sehari-hari bagi banyak penduduk Hyderabad. Manfaat kognitifnya mungkin saja tidak terlihat di tempat-tempat lain yang tidak memerlukan dwibahasa.”

Namun demikian, orang tidak perlu tinggal di tempat dengan multi-bahasa untuk bisa meningkatkan cadangan kognitif. Penelitian sebelumnya juga telah menunjukkan bahwa dwibahasa dapat menunda mulainya penyakit Alzheimer’s. Tapi para peneliti saat itu mengatakan pembelajaran bahasa lain tidak semerta-merta membatu meningkatkan kemungkinan pemulihan dari stroke. Menjaga otak tetap bergiat selama hidup malah mungkin membantu.

Subhash Kaul, salah satu anggota NIMS, mengatakan, “Penelitian kami menunjukkan bahwa kegiatan yang merangsang kadar intelektual dan dilakukan seiring berjalannya waktu, mulai dari usia dini atau bahkan dimulai di masa paruh baya, dapat melindungi seseorang dari kerusakan akibat stroke.” (Alx)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya