Perkembangan Bisnis Maskapai Tak Diikuti Kualitas

Setiap maskapai diharapkan memiliki unit enterprise risk management untuk meningkatkan standar layanan dan keselamatan penumpang.

oleh Agustina Melani diperbarui 22 Feb 2015, 16:46 WIB
Ratusan penumpang dibiarkan telantar di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, akibat penerbangan Lion Air yang mengalami delay, Kamis (19/2/2015). (twitter.com/@Thony_nox)

Liputan6.com, Jakarta - Usai ramai pemberitaan kecelakaan Air Asia tujuan Surabaya-Singapura, kisruh penundaan penerbangan (delay) maskapai Lion Air yang terjadi sejak Rabu 18 Februari 2015 menjadi sorotan. Ribuan penumpang Lion Air harus berjam-jam menunggu di bandara. Bahkan pihak maskapai pun tak memberikan penjelasan detil soal penundaan penerbangan.

Pengamat penerbangan dari Universitas Gajah Mada, Arista Atmadjati menuturkan, penerbangan murah yang tumbuh sejak 2001 tidak diimbangi dengan sistem manajemen yang baik. Bahkan bisnis maskapai dinilai seperti manajemen bus kota.

"Perkembangan maskapai begitu cepat tetapi kualitas manajemennya sangat ketinggalan seperti bus kota," ujar Arista, saat dihubungi Liputan6.com, yang ditulis Minggu (22/2/2015).

Selain itu, Arista menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan juga tidak tegas menghadapi maskapai terutama manajemen Lion Air. Hal itu mengingat sejumlah keluhan terutama soal penundaan penerbangan.  Ditambah kompensasi untuk penumpang yang mengalami delay. Arista mengatakan, pihak Lion Air belum dapat memenuhi hal tersebut meski sudah ada standar operational procedurnya (SOP).

"Lion Air dua hari chaos tetapi belum ada pernyataan dari direksi yang ada petugas biasa. Ini konyol. Seharusnya para petinggi sudah turun ke lapangan," kata Arista.

Menurut Arista, selama ini pemerintah bersikap reaktif terhadap kejadian baru mengeluarkan peraturan. Padahal seharusnya pemerintah sudah memikirkan bagaimana perkembangan bisnis penerbangan dalam 10 tahun ke depan. Pemerintah dapat mengantisipasi bagaimana pelayanan, tarif dan keselamatan penumpang ke depannya.

Oleh karena itu, ia mengharapkan, di era bisnis penerbangan yang modern setiap maskapai memiliki unit enterprise risk management yang di bawah langsung Direktur Utama.

"Unit ini yang memberikan informasi kepada direktur soal perang tarif, harga tarif dinaikkan, dan bagaimana hadapi peak season. Jadi maskapai itu punya conjunction plan saat hadapi peak season. Sehingga diback SOP yang sudah ada," ujar Arista.

Pemerintah juga diharapkan dapat mendorong maskapai untuk menyampaikan laporan keuangan. Menurut Arista, selama ini maskapai selalu menolak untuk memberikan laporan keuangan secara terbuka sehingga sering kali maskapai tiba-tiba kolaps.

"Sudah banyak contohnya mulai dari Batavia, Adam Air, Star Air, Merpati kesulitan cash flow," kata Arista.

Menurut Arista, penyampaian laporan keuangan ke publik untuk mengetahui seberapa layak maskapai itu merawat pesawat, membeli spare part dan pesawat yang memadai. Masyarakat sebagai pelanggan juga harus mengetahu kinerja maskapai.

"Dengan memaparkan kinerja jadi tahu apakah maskapai itu memiliki dana sehingga tahu mana maskapai yang sehat. Ini saja kompensasi makan harus ditalangi Angkasa Pura II," kata Arista. (Ahm/)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya