Sekjen PBB Desak Jokowi Stop Eksekusi Mati

Sejumlah terpidana mati kasus narkoba, termasuk warga negara asing, segera dieksekusi mati oleh Kejagung.

oleh Rizki Gunawan diperbarui 15 Feb 2015, 12:18 WIB
Sekjen PBB Ban Ki-moon (Reuters)

Liputan6.com, New York - Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia (RI) akan kembali melakukan eksekusi mati terhadap sejumlah terpidana mati yang dinyatakan bersalah terkait kasus peredaran narkoba. Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon mendesak Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan hukuman mati.

Desakan dari Ban Ki-moon itu disampaikan oleh juru bicara PBB Stephane Dujarric. Menurut dia, Ban sudah berbicara dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno LP Marsudi soal hal itu.

"Ban telah mengungkapkan keseriusannya atas hukuman yang dilakukan di Indonesia. PBB dengan tegas menolak eksekusi mati," ujar Stephane Dujarric, seperti Liputan6.com kutip dari Reuters, Minggu (15/2/2015).

Mulai 2013, Pemerintah Indonesia mengakhiri masa moratorium eksekusi mati yang telah diberlakukan selama 4 tahun. Kemudian pada 2014, tak ada eksekusi mati di tanah air meski pelaksanaan hukuman itu kembali diterapkan. Hukuman ini mulai dilakukan kembali pada awal 2015 pada masa pemerintahan Jokowi.

Kejagung sebelumnya mengeksekusi mati 6 terpidana pada 18 Januari 2015 lalu. Keenam orang tersebut, yakni Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brasil), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), dan Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda).

Sejumlah terpidana mati lainnya kemungkinan akan dieksekusi, termasuk 2 terpidana mati dari kelompok penyelundup narkoba 'Bali Nine', Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang berasal dari Australia.

Perdana Menteri Australia Tony Abbott baru-baru ini mengajukan permohonan kepada Jokowi agar lebih 'responsif' dengan desakan yang dilakukan pihaknya. Dia mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk memahami posisi bila warga negaranya terancam dieksekusi mati di negara lain.

"Jutaan warga Australia sangat kecewa dengan apa yang akan terjadi pada 2 warga kami di Indonesia," ujar Abbott, seperti dilansir News.com.au.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia Julie Bishop mengatakan, pihaknya menerima banyak surat dari warganya yang berisi protes terhadap eksekusi mati Myuran Sukuraman dan Andrew Chan. "Jadi apakah eksekusi harus diteruskan bila masih ada opsi lain?" ujar dia. Dia juga mengatakan pihaknya bisa memboikot pariwisata Indonesia jika memang eksekusi tersebut tetap dilakukan.

Presiden Jokowi sebelumnya menjelaskan Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum terkait narkoba. Sebab, dalam setiap hari sebanyak 50 orang meninggal karena narkoba di Indonesia, sehingga dalam setahun jumlahnya mencapai 18 ribu orang meninggal karena narkoba.

Menurut Jokowi, fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam keadaan darurat narkoba. Untuk itu, dia menolak permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati narkoba. "Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi, saya pastikan semuanya saya tolak, tidak akan," ucap Jokowi.

Jokowi pun menyatakan tidak gentar meskipun mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga swadaya masyarakat (NGO), hingga mendapatkan surat amnesti internasional. "Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan hancurlah kita," tegas Jokowi. "Kalau pas (ada) yang ketangkap, tidak ada lagi yang gram, semuanya kilo (gram) atau ton." (Riz/Mut)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya