Sukses

Facebook Bayar Uang Damai Rp 11.3 Triliun Terkait Skandal Cambridge Analytica

Adapun kasus gugatan class action ini menuduh Facebook mengizinkan pihak ketiga, termasuk Cambridge Analytica, mengakses informasi pribadi pengguna.

Liputan6.com, Jakarta - Meta, perusahaan induk Facebook setuju membayar "uang damai" senilai USD 725 juta atau Rp 11,3 triliun terkait kasus skandal Cambridge Analytica.

Adapun kasus gugatan class action ini menuduh Facebook mengizinkan pihak ketiga, termasuk Cambridge Analytica, mengakses informasi pribadi pengguna.

Penyelesaian secara damai ini diusulkan untuk menyelesaikan kasus yang terjadi sejak 2018, dimana Facebook mengizinkan Cambridge Analytica mengakses 87 juta data pengguna media sosial itu.

Pengacara penggungat menyebutkan, proses perdamaian gugatan class action ini merupakan terbesar di Amerika Serikat, sebagaimana dikutip dari GSM Arena, Sabtu (24/12/2022).

Sementara itu bagi Meta, penyelesaian ini merupakan jumlah terbesar yang pernah dibayar perusahaan rintisan Mark Zuckerberg itu untuk sebuah gugatan class action.

"Momen bersejarah ini akan memberikan kelegaan berarti bagi kelas dalam kasus privasi rumit dan baru ini," kata pengacara utama penggugat, Derek Loeser dan Lesley Weaver, dalam pernyataan bersama.

Meski harus membayar, Meta sendiri hingga kini tidak mengakui kesalahan apa pun dan mengklaim perjanjian ini dilakukan demi kebaikan bersama, baik itu komunitas maupun pemegang saham.

"Selama tiga tahun terakhir, kami telah mengubah pendekatan privasi dan menerapkan program privasi yang komprehensif," kata Meta.

Informasi, Cambridge Analytica--kini sudah tidak beroperasi--bekerja untuk kampanye kepresidenan Donald Trump pada tahun 2016.

Dengan data berisikan informasi pribadi akun Facebook ini, perusahaan membuat profiling dan menargetkan pengguna dengan iklan politik di Facebook.

Ketika kasus ini mencuat, pemerintah di seluruh dunia langsung mengevaluasi kembali praktik privasi mereka, dan Facebook telah setuju untuk membayar denda.

Pada 2019, perusahaan membayar uang sebesar USD 5 miliar ke Komisi Perdagangan Federal (FTC) untuk menyelesaikan penyelidikan.

Setelah itu, Mark Zuckerberg dkk harus membayar USD 100 juta lagi untuk menyelesaikan klaim Komisi Sekuritas dan Pertukaran AS (SEC).

Keduanya terkait dengan kasus privasi pengguna, dan bagaimana data Facebook mereka digunakan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Penipuan Phishing di Facebook Bisa Curi Data Pengguna

Ilustrasi Facebook (Photo by Joshua Hoehne on Unsplash)

Sebuah aksi penipuan bermetode phishing dengan mengandalkan unggahan di Facebook, untuk mencuri data pribadi pengguna semakin marak terjadi.

Untuk melancarkan aksinya, pelaku mengirimkan email ke korban berpura-pura ada pelanggaran hak cipta di postingan Facebook pengguna.

Dalam email tersebut, pelaku memperingatkan akun mereka akan dihapus dalam waktu 48 jam jika tidak melakukan banding, dikutip dari laporan tim analis Trustwave, Sabtu (17/12/2022).

Penjahat siber juga menyertakan link atau tautan pengajuan banding atas penghapusan akun, merupakan postingan Facebook sebenarnya di web Facebook.com.

Dengan cara ini, penjahat siber dapat "mengakali" sistem keamanan email dan memastikan pesan phishing mereka masuk ke inbox target.

Unggahan tipuan itu dibuat sedemikian mungkin terlihat sebagai "Page Support" atau "Halaman Bantuan", lengkap dengan logo Facebook.

3 dari 4 halaman

Penipuan Phishing di Facebook

Facebook (JUSTIN SULLIVAN / AFP)

Bagi pengguna yang tidak teliti, mereka dapat menjadi korban dari penipuan phishing di Facebook itu dan dicuri data mereka, kata tim analis.

Dalam laporan tersebut, Trustwave juga menyebut postingan ini menyertakan link ke situs phishing eksternal bernama Meta--perusahaan pemilik Facebook.

Tim analis menemukan, tiga URL yang disertakan dalam postingan kampanye phishing ini masih aktif hingga laporan ini diterbitkan.

Situs phishing dibuat pelaku dengan teliti, sehingga tampak seperti laman banding hak cipta milik Facebook sebenarnya.

Ketika masuk, korban penipuan diminta untuk memasukkan nama lengkap, alamat email, nomor telepon, dan username Facebook mereka.

4 dari 4 halaman

Pelaku Kejahatan Tipu Pengguna Facebook

(ilustrasi/guim.co.uk)

Setelah mengisi data, laman tersebut juga mengumpulkan alamat IP korban dan informasi geolokasi dan mengekstrak semuanya ke akun Telegram milik pelaku kejahatan.

Lebih lanjut, pelaku juga mungkin mengumpulkan informasi tambahan untuk melewati sistem keamanan perlindungan sidik jari atau pertanyaan saat mengambil alih akun Facebook korban.

Sementara itu, korban akan dialihkan ke laman phishing selanjutnya dimana pelaku akan mengirimkan 6 digit palsu one time password (OTP).

Berapa kode apa pun yang dimasukkan korban maka akan muncul pesan eror, dan dipaksa untuk mengeklik opsi "Need another way to authenticate?".

Saat diklik, pengguna akan diarahkan ke situs Facebook sebenarnya sekaligus mengakali sistem keamanan milik media sosial tersebut.

Mengejutkannya, analis Trustwave menemukan pelaku menggunakan Google Analytics di laman phishing mereka untuk membantu melacak efisiensi aksi penipuan tersebut.

(Ysl/Isk)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.