Liputan6.com, Bandung - Alkisah di jajar bukitan utara, di Tepi Lebak Cawene, Anak-Anak Matahari harus menempuh perjalanannya demi menyelamatkan Pohon Kehidupan yang tengah kerontang ditawan para pasukan raksasa.
Raksasa-raksasa penyebar dongeng dan imajinasi jahat. Mereka telah mengguntingi hutan, membolongi gunung-gunung, membendung sungai, membakar langit, juga menguras seisi laut.
Raksasa-raksasa yang melakukan penggusuran untuk membentangkan jalan-jalan raya, dan mengimbuhinya dengan aneka isian kota dan pembangunan yang berlebihan. Menyebarkan dongeng-dongeng yang membuat banyak sekali orang menjadi tak mampu lagi membayangkan hidup dengan alam.
Advertisement
"Segala keinginan kalian dapat terpenuhi di kota tapi kalian harus punya uang. Uang adalah semacam sihir yang dapat memenuhi seluruh keinginan kalian. Uang, oh, jenius sekali. Uang adalah salah satu dongeng yang aku ciptakan. Bagaimana? Kalian telah merasakannya? Serunya dongeng Raja Raksasa?"
Perkataan itu adalah penggalan dialog yang diucapkan Raja Raksasa di hadapan Anak-Anak Matahari.
Dalam petualangannya, Anak-Anak Matahari pun bertemu dengan Ibu Dunia dan Sang Tua Pendongeng. Lewat dua tokoh bijak itu, Anak-Anak Matahari diberi kabar bahwa Pohon Kehidupan mesti diselamatkan. Dan Anak-Anak Matahari harus segera terbit memulai suatu perjalanan panjang meski penuh marabahaya. Jika tidak, bencana besar yang membinasakan bakal terjadi.
Untuk bisa menyelamatkan Pohon Kehidupan, Anak-Anak Matahari mengemban tugas untuk berjuang dengan penuh kesadaran, keberanian, kesabaran, kebersamaan, dan memasrahkan dirinya pada Tuhan Semesta Alam.
Â
Kelas Luar Ruangan
Penggalan cerita Anak-Anak Matahari itu merupakan kegiatan kelas luar ruangan yang diikuti oleh 38 siswa kelas 4 SDN Cigugur Tengah, Kota Cimahi, Jawa Barat, Senin (13/5/2024).Â
Kegiatan yang diberi tajuk Puisi Kecil: Anak-Anak Matahari itu diadakan pihak sekolah berkolaborasi dengan komunitas iibra (Bandung), Teater Lampau (Unpad), Teater Djati (Unpad), Teater Mata Mawar (Unpad), Teater Lekru (Unpad), dan komunitas teater Sedentary Club (Pontianak).
Pihak SDN Cigugur Tengah membungkus acara kelas luar ruangan mereka menjadi semacam perjalanan kecil teater wahana. Para siswa diperankan sebagai Anak-Anak Matahari yang dalam ceritanya hendak menyelamatkan Pohon Kehidupan.
Mereka bertemu para tokoh teater wahana dari anggota-anggota komunitas. Menyusuri pos ke pos yang diisi serangkaian misi, hingga lokakarya membuat kain ecoprint dan wayang ilalang. Perjalanan mereka pada dasarnya adalah edukasi tentang kerusakan alam, dan upaya menumbuhkan kepedulian terhadap sesama dan lingkungan.
Sebagai contoh, sebelum menyelamatkan Pohon Kehidupan, para siswa harus mengumpulkan daun dan bunga aneka warna untuk dijadikan bahan pembuatan kain ecoprint. Kain ini dikisahkan sebagai salah satu perbekalan yang dibutuhkan guna menghadapi pasukan raksasa.
Untuk bisa mendapat daun dan bunga, para siswa mesti memenuhi syarat dari Dewi Pohon. Syaratnya, berbagi air minum mereka kepada tanaman di sekitar. Mereka diajari untuk mengasihi dan merawat tumbuhan.
"Relakan segala yang kamu kira milikmu. Lepaskan. Relakan. Bagikan hidupmu untuk semesta alam. Biarkan hidupmu jadi hidup semesta alam. Kerelaanmu akan menyatu dengan kerelaan bumi. Dengan begitu, percayalah, alam semesta akan melindungi langkah kalian semua," ucap Dewi Pohon saat meminta anak-anak berbagi air minum untuk tanaman.
Wali Kelas 4, SDN Cigugur Tengah, M. H. Dutama mengatakan, metode pentas yang digunakan adalah dongeng interaktif atau teater wahana yang melibatkan anak-anak. Mereka dilatih untuk mampu merespons ruang yang ada di sekitarnya.
"Sebetulnya pentas ini sekaligus menjadi upaya untuk mengenalkan isu-isu lingkungan ke anak, tapi bentuknya lewat kolaborasi bersama kelompok teater agar tidak terlalu berat dan bisa diterima perlahan sama murid-murid," katanya.
Â
Advertisement
Sekilas Krisis Bandung Utara
Acara kelas luar ruang dilangsungkan di Kawasan Bandung Utara, tepatnya Lereng Keraton, Kabupaten Bandung. Di sana, anak-anak SDN Cigugur Tengah tidak hanya diperlihatkan keindahan alam, tapi juga kerusakan alam yang tengah terjadi.
Diketahui, bencana alam di kawasan perkotaan Bandung dinilai erat berkelindan dengan masalah di wilayah sabuk hijau perbukitan di Kawasan Bandung Utara (KBU).
Kelompok aktivis lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebelumnya mengabarkan bahwa kerusakan bentang alam di KBU kuat dipicu alih fungsi lahan yang sporadis.
Catatan Walhi Jawa Barat, dalam 10 tahun terakhir degradasi atau alih fungsi lahan di KBU diperkirakan telah mencapai 200 hektare. Izin pembangunan di KBU di antaranya didominasi pembangunan hotel, perumahan, apartemen dan villa. Di samping itu ada bisnis lain yang turut menyebabkan perubahan bentang alam yakni menjamurnya izin-izin wisata alam, kafe, usaha kuliner, outbound, off road dan privatisasi air.
Lebih luas lagi, merujuk opendata.jabar, tercatat seluas 907.683,68 hektare lahan kritis di Jawa Barat per 2022 lalu. Diduga, luasan lahan kritis tersebut semakin bertambah tiap tahun, seiring dengan intervensi berbagai kegiatan, salah satunya rencana-rencana kegiatan infrastruktur serta pembangunan properti, tambang, dan maraknya izin usaha wisata alam di Jawa Barat.
Lewat acara kelas luar ruangan, para guru SDN Cigugur Tengah berharap, anak didiknya bisa melihat sepotong saja kondisi kerusakan alam secara langsung. Selain itu, menumbuhkan kebersamaan dan kepedulian terhadap alam, sambil tetap tidak menghilangkan keseruan dan daya bermain anak-anak.
"Raja raksasa ini merupakan simbol dari kerakusan pembangunan, jadi kita coba bangun kesadaran mereka bahwa saat ini kondisi alam kita itu tidak baik-baik saja, banyak kerusakan alam yang menimbulkan bencana," kata Dutama.
Â
Menyadur Baduy
Pada acara kelas luar ruangan itu, Anak-Anak Matahari akhirnya berhadapan dengan Raja Raksasa dan bala pasukannya. Dengan bekal-bekal yang sudah dikumpulkan dalam perjalanan, mereka tak gentar berhadapan dengan raksasa.
Anak-anak menunaikan perjuangannya dan berhasil menyelamatkan Pohon Kehidupan. Meski, Raja Raksasa dan pasukannya ternyata berhasil kabur. Tanda bahaya itu belum sepenuhnya sirna, dan dongeng Anak-Anak Matahari masih harus berlanjut.
"Perjuangan kita belum selesai. Kalian mesti menyebarkan dongeng ini, dongeng Anak-Anak Matahari, cerita yang kalian alami hari ini ke seluruh penjuru bumi," kata Sang Pendongeng Tua.
Di dekat Pohon Kehidupan itu anak-anak pun merapalkan sebuah "mantra sakti" sebagai pelindung Pohon Kehidupan:
Â
"Gunung teu meunang dilebur;
Lebak teu meunang diruksak;
Pendek teu meunang disambung;
Lojong teu meunang dipotong"
Â
(Gunung jangan dilebur;
Lembah tak boleh dirusak;
Pendek tak boleh disambung;
Panjang tak boleh dipotong)
Â
"Mantra" itu disadur dari kearifan masyarakat adat Baduy. Falsafah tentang komitmen mereka dalam menjaga dan hidup bersama alam, atau kesadaran yang ditunaikan secara nyata menjadi upaya perlindungan diri dari segala sifat rakus dan nafsu yang merusak.
Advertisement