Sukses

Pengadilan Negeri Bandung Dapat 'Hadiah' Sampah dari Warga Dago Elos

Aksi diwarnai pelemparan cat dan sampah ke kantor pengadilan. Warga mengaku, laku demikian adalah bentuk simbolik kekecewaan dan perlawanan.

Liputan6.com, Bandung - Tak ada keadilan di kantor pengadilan. Begitu kiranya kredo warga Dago Elos, Kota Bandung, yang kembali menggeruduk kantor Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis, 7 Maret 2024.

Aksi diimbuhi pelemparan cat dan sampah ke kantor pengadilan. Warga mengaku, laku demikian jadi bentuk simbolik kekecewaan dan perlawanan.

Setidaknya, aksi Kamis siang di PN Bandung menjadi yang ketiga kalinya setelah aksi serupa pada 20 Februari dan 5 Maret 2024 lalu. Serentetan aksi merupakan buntut ancaman penggusuran yang kian nyata di Elos.

Dalam surat bertanggal 16 Januari 2024, jurusita PN Bandung telah melayangkan surat panggilan kepada warga untuk hadir di PN Bandung pada 20 Februari 2024. Warga "ditegur agar dalam waktu 8 (delapan) hari melaksanakan isi putusan Nomor 454/Pdt.G/2016/PN. Bdg”.

Tuntutan warga masih sama, pada pokoknya mendesak PN Bandung membatalkan eksekusi di Dago Elos, mengadang ancaman penggusuran lahan seluas 6,9 hektare yang berpuluh tahun telah jadi ruang hidup warga.

Perwakilan Forum Dago Melawan, Angga mengatakan, pelemparan cat dan sampah ke kantor pengadilan anggaplah semacam kecaman dan sinyal atas dugaan praktik kotor yang telah berlangsung pada proses peradilan perkara sengketa tanah di Dago Elos.

Di samping itu, warga juga merasa dibuang. Sebagai manusia, telah diperlakukan tidak layak seolah sampah.

"Warga diminta untuk meninggalkan tanah dan rumahnya secara sukarela, kemudian adapun surat-surat yang dikeluarkan oleh BPN Kota Bandung, kelurahan, Kecamatan dianggap tidak berlaku. Apa bedanya kami dengan sampah?" katanya.

"Atas dasar itulah kami jadikan pengadilan, ya, tidak jauh bedanya dengan sampah. Kita balikin itu, kita balikin sampah ke pengadilan sebagai simbol perlawanan kita terhadap peradilan yang tidak berkeadilan," imbuhnya.

Pelemparan sampah dan cat juga sempat dilakukan pada aksi 5 Maret. Meski, warga dan massa solidaritas melakukannya dari seberang jalan kantor pengadilan sebab pelataran pengadilan dijaga ketat barisan aparat. Sementara, kali ini warga yang kebanyakan ibu-ibu itu bisa masuk ke pelataran pengadilan.

"Hari ini merupakan aksi yang tidak dipublikasikan, mayoritas diikuti hanya oleh warga. Karena tanggal 5 Maret kita tidak bisa beraudiensi dengan Kepala PN Bandung, hari ini kita coba upaya lain agar bisa masuk ke pengadilan. Kami tujuannya memang ingin ada dialog dengan kepala pengadilan," kata Angga.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Audiensi

Aksi kali ini, sempat berlangsung audiensi antara perwakilan warga serta kuasa hukum dengan pihak PN Bandung. Namun, warga menilai percakapan yang digulirkan PN Bandung terlampau normatif, berputar-putar dan mengambang. Warga juga kecewa audiensi tidak dihadiri Kepala PN Bandung.

"Warga malah berhadapan dengan humas, itu jauh dari harapan karena mereka bukan pengambil kebijakan, apalagi yang bisa mengeluarkan penetapan urusan ini. Jawaban mereka normatif dan muter-muter, mereka tidak bisa menjawab dan kami walk out dari pertemuan. Kami tidak mau berpanjang lebar, maka kami hendak menutup pertemuan yang sama sekali tidak berguna," katanya.

"Kami memang masih mengupayakan bukti lain yang memperkuat dugaan tindak pidana pemalsuan dalam konteks mafia tanah," katanya.

PN Bandung dituntut agar menerbitkan putusan Non-Executable atas sengketa tanah Dago Elos, juga didesak menerbitkan izin akses kepada kuasa hukum dan pihak terkait lainnya untuk membuka kembali berkas perkara sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 1986.

Warga menilai putusan sengketa Dago Elos, Nomor 454/Pdt.G/2016/PN. Bdg, cacat hukum dan diduga mengandung muslihat curang, didasarkan pada keterangan-keterangan bohong. Oleh karenanya, warga mendesak PN Bandung menerbitkan keputusan Non-Executable agar keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha tidak dapat mengeksekusi kampung Dago Elos.

Menurut warga, sedikitnya ada dua poin krusial yang digarisbawahi sebagai kecacatan putusan PN Bandung.

Pertama, subjek individu para tergugat menggunakan pola acak yang kebenarannya tidak valid, sebagian bukan warga, nama ganda, bahkan banyak yang sudah meninggal dunia ataupun tidak pernah berada di lokasi Dago Elos. Kedua, objek yang disengketakan diklaim dengan luasan 6,9 hektare, tetapi tidak ada kejelasan batas objek dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan setempat.

"Putusan pengadilan yang memenangkan Muller dan PT Dago Inti Graha cacat secara hukum dan penuh indikasi kecurangan yang tersistematis. Dengan demikian eksekusi atas putusan tersebut tidak bisa dilaksanakan (non-executable) sebab Subjek Tergugat dan Objek Sengketa tidaklah valid, mengada-ada dan dipaksakan," dikutip lewat keterangan pers kuasa hukum warga Dago Elos.

 

3 dari 4 halaman

Tertera Pada Nisan

Diketahui, warga Elos digugat keluarga Muller bergandeng PT Dago Inti Graha. Dua pihak itu mengklaim sebagai pemilik hektaran tanah yang telah warga tinggali puluhan tahun. Lewat Putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, PN Bandung telah memenangkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.

Sejak awal, warga enggan menerima putusan pengadilan. Sampai kini, warga masih tinggal mempertahankan kampung mereka di bawah bayang penggusuran.

Warga yakin, putusan hukum yang mereka terima didasarkan pada kecurangan, bahwa Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, serta Jo Buli Hartanto selaku Direktur PT Dago Inti Graha, diduga memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan.

"Empat orang tersebut di atas diduga telah memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, dalam sengketa lahan yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bandung," dalam keterangan tertulis Forum Dago Elos Melawan, Selasa, 20 Februari 2024.

Keterangan tidak benar yang dimaksud warga misalnya menyangkut akta peralihan kepemilikan tanah. Jadi, merujuk putusan PN Bandung Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg, diklaim bahwa tanah permukiman warga Dago Elos-Cirapuhan mulanya milik sebuah pabrik semen pada masa kolonial Belanda, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”.

Selanjutnya, disebutkan bahwa kepemilikan tanah itu diserahkan kepada George Hendrik Muller melalui akta yang dibuat di hadapan notaris pada 7 Agustus 1899. Namun, warga menduga informasi itu bohong. Pasalnya, warga berhasil menemukan fakta bahwa George Hendrik Muller baru lahir pada 24 Januari 1906. Bukti tanggal kelahiran itu tertera pada nisan makam George Hendrik Muller.

Warga lantas mempertanyakan, bagaimana mungkin George Hendrik Muller yang baru lahir tahun 1906 itu sudah bisa mengurus kepemilikan tanah di tahun 1899?

"Sungguh di luar nalar kami, bila ada yang -lahir saja belum- namun pada tanggal 7 Agustus 1899 sudah bernama George Hendrik Muller, sudah memiliki kemampuan menghadap notaris, dan melakukan perbuatan perdata menerima peralihan hak atas tanah".

Warga pun sudah melaporkan Heri Hermawan Muller, Dedy Kustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan Jo Buli Hartanto ke Polda Jawa Barat. Mereka diduga melakukan perbuatan pidana yakni memberikan keterangan-keterangan tidak benar dalam persidangan di PN Bandung.

"Berdasarkan penelusuran di atas, kami Forum Dago Melawan meyakini bahwa keempat orang yang kami laporkan di atas telah melakukan perbuatan nekat yaitu: di depan pengadilan memberikan keterangan (tertulis) yang tidak masuk akal, yang kebenarannya sangat meragukan, dan karenanya harus segera diselidiki secara serius oleh pihak kepolisian".

4 dari 4 halaman

Klaim Basi

Klaim keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha didasarkan pada Eigendom Verponding, bukti kepemilikan tanah yang berlaku pada era Hindia Belanda. Namun, aturan pertanahan peninggalan kolonial itu sudah lapuk atau kadaluwarsa. Di antaranya, ditandai terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Tanah bekas Eigendom yang tidak dikonversi ulang otomatis dinasionalisasi menjadi tanah yang dikuasai negara. Dalam hal ini, termasuk tanah sengketa di Dago Elos-Cirapuhan.

Dalam putusan kasasi pada 2019, majelis hakim menilai, klaim Eigendom Verponding keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena sudah berakhir dan tidak dikonversikan paling lambat 24 September 1980.

Majelis hakim mendasarkan putusannya sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Dengan demikian, tanah Elos dinyatakan tanah yang dikuasai negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim, selain alas hak Eigendom Verponding kadaluwarsa, mereka pun tidak menempati atau menguasainya secara langsung.

Sebaliknya, yang lebih berhak atas tanah Elos adalah warga, sebab terbukti menguasai atau menempati tanah sejak lama.

“Telah terbukti Para Tergugat sudah menguasai objek sengketa dalam kurun lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah,” dikutip dari salinan putusan Mahkamah Agung.

Disampaikan LBH Bandung dalam pernyataan tertulis, pascaputusan kasasi, terhitung sejak 21 Januari 2021, warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung, tapi tak kunjung ditanggapi.

Hingga akhirnya, putusan PK Mahkamah Agung kadung terbit, menjungkirbalikkan kemenangan singkat yang sebelumnya sempat diraih warga.

Terbaru, dalam surat bertanggal 16 Januari 2024, jurusita PN Bandung melayangkan surat panggilan kepada warga Dago Elos untuk datang pada 20 Februari 2024 ke Gedung PN Bandung guna “ditegur agar dalam waktu 8 (delapan) hari melaksanakan isi putusan Nomor 454/Pdt.G/2016/PN. Bdg.”.

Pertimbangan pengadilan itu dinilai tidak lengkap, hanya cenderung bersandar pada aspek formalitas pemberkasan, mengenyampingkan aspek realitas warga.

“Selain pertimbangan yuridis atau berkas-berkas, harusnya melihat secara sporadis di lapangan. Jika semangatnya (UUPA) untuk kemakmuran rakyat, maka lihatlah siapa yang paling lama menggarap, itu yang diutamakan,” kata seorang pemateri, Bambang, pada suatu diskusi bertajuk ‘Kita Masih Dijajah’, di Balai RW 02 Dago Elos, 2022 lalu.

“Jadi penting agar warga tetap bertahan tinggal di sini. Tetap mempertahankan kampung, tetap mengurus kampung, tetap memelihara kampung,” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.