Sukses

Pengakuan Luna Maya Keturunan Cirebon, Bingung Warganya Pakai Bahasa Sunda atau Jawa

Luna Maya mengaku cukup lama di Cirebon guna mencari jejak makam sang kakek yang diketahui merupakan salah seorang purnawirawan.

Liputan6.com, Cirebon - Siapa yang tak kenal Luna Maya, seorang artis sekaligus model ternama. Sebagian besar masyarakat menganggap Luna Maya merupakan artis yang berasal dari Bali.

Namun, siapa sangka, artis berparas bule itu diketahui bukan artis asal Pulau Bali. Luna Maya mengaku keturunan Cirebon.

Belum lama ini, Luna Maya berkunjung ke Cirebon dalam rangka mencari makam kakeknya. Pengakuannya seperti diungkapkan pada kanal Youtube pribadinya.

Kakek Luna Maya yang berasal dari Cirebon itu bernama Soedjono berasal dari Desa Pegagan, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon. Luna Maya mengaku cukup lama di Cirebon guna mencari jejak makam kakeknya tersebut.

Selain mencari makam Kakek, Luna Maya banyak mencicipi sejumlah kuliner asal Cirebon yang mampu menggoyang lidah. Diketahui, sang kakek Luna Maya merupakan purnawirawan TNI.

Pada perjalanannya, Luna Maya sempat bingung dengan penggunaan bahasa sehari-hari masyarakat Cirebon. Dalam satu videonya Luna Maya sempat menanyakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Cirebon itu Sunda atau Jawa.

"Kalau Cirebon itu Sunda atau Jawa," tanya Luna Maya.

Seorang pria pun mencoba untuk menjelaskan kepada Luna Maya jika bahasa yang digunakan oleh masyarakat Cirebon itu terdapat dua bahasa yakni Sunda dan Jawa.

"Ada desa yang Sunda ada juga yang Jawa," ungkap salah satu pria yang ada di lokasi tersebut.

**Liputan6.com bersama BAZNAS bekerja sama membangun solidaritas dengan mengajak masyarakat Indonesia bersedekah untuk korban gempa Cianjur melalui transfer ke rekening:

1. BSI 900.0055.740 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)2. BCA 686.073.7777 atas nama BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional)

Saksikan video pilihan berikut ini: 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bahasa Cirebon

Dirangkum dari berbagai sumber, 80 persen Bahasa Cirebon dipengaruhi oleh bahasa Sanskerta. Sehingga, bahasa Cirebon disebut sebagai bahasa Sanskerta kontemporer.

Kosakata serapan bahasa Sanskerta di antaranya adalah ingsun (saya) dan cemera (anjing). Pada abad ke 15 sampai 17 M, bahasa Cirebon telah digunakan dalam tuturan warga pesisir utara Pulau Jawa bagian barat.

Bahasa Cirebon dipengaruhi oleh bahasa Sunda karena keberadaannya yang berbatasan langsung dengan kebudayaan Sunda, khususnya kebudayaan Sunda di Kuningan dan di Majalengka. Bahasa Cirebon juga menyerap kosakata dari bahasa-bahasa asal Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.

Contoh kosakata serapannya antara lain: taocang ('kuncir') dari bahasa Tionghoa, bakda ('setelah') dari bahasa Arab, dan sonder ('tanpa') dari bahasa Belanda.

Bahasa Cirebon mempertahankan bentuk-bentuk kuno seperti ingsun (saya) dan sira (kamu) dalam bahasa sehari-hari. Pada masa Amangkurat II berkuasa di Mataram, bahasa Cirebon menurut Nurdin M Noer tidak dipengaruhi oleh bahasa Jawa.

Pada masa itu kosakata dari bahasa Sanskerta masih dipergunakan untuk percakapan sehari-hari masyarakat Cirebon. Sastra Cirebonan merupakan bagian dari Sastra Pesisiran yang berkembang di sepanjang pantai utara pulau Jawa.

Beberapa ahli percaya bahwa Sastra Cirebonan dalam bentuk tulisan telah ada sejak zaman Hindu Awal, dan telah mempengaruhi kebudayaan masyarakat di Jawa.

Sebagai pengaruh budaya Hindu, dapat ditemui dua macam karya Sastra Cirebonan, yang disebut tembang gedhé dan tembang tengahan. Setelah Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam oleh walisanga sekitar abad ke-14-15 M, muncul tembang cilik, yang oleh kebanyakan orang disebut tembang macapat.

Setelah beberapa hasil karya sastra selesai ditulis, banyak cerita sejarah atau legenda menyebar ke masyarakat melalui komunikasi tatap muka.

Pada masa lalu, padatnya aktivitas pelabuhan di Kota Cirebon menarik banyaknya urbanisasi kelompok masyarakat dari wilayah sekitarnya. Termasuk dari Indramayu, Losari dan Brebes yang notabene merupakan wilayah suku Sunda dan suku Jawa.

Selain itu, di sekitar pelabuhan Cirebon juga dapat ditemukan kelompok- kelompok masyarakat suku Bugis, suku Madura, pendatang China dan warga keturunan Arab. Hingga pada akhirnya telah menjadikan wilayah ini beragam secara adat maupun bahasa.

Pola kehidupan di sekitar pelabuhan, bahasa Cirebon telah menjadi bahasa ater-ater (bahasa Indonesia: bahasa pengantar) pada pergaulan di berbagai kalangan masyarakatnya. Bahkan ketika terjadi penurunan aktivitas, pelabuhan Cirebon pada era modern hanya dijadikan tempat bongkar batu bara dari Kalimantan.

Dari pengaruh itu, mereka notabene menurunkan tingkat interaksi berbagai kelompok masyarakat yang ada. Bahasa Cirebon tetap dan telah menjadi bahasa ater-ater yang dominan pada wilayah tersebut.

Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, bahasa Cirebon dituturkan oleh 3.086.721 jiwa penduduk Indonesia usia 5 tahun ke atas. Ia menduduki peringkat ke-11 bahasa yang paling banyak dituturkan oleh penduduk Indonesia setelah bahasa Indonesia, bahasa Jawa umum, bahasa Sunda, bahasa Melayu, bahasa Madura, bahasa Minangkabau, bahasa Banjar, bahasa Bugis, bahasa Bali, dan bahasa Batak.

Pengembangan bahasa Jawa Cirebon dilakukan oleh Lembaga Basa lan Sastra Cirebon (LBSC).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.