Sukses

Jokowi Tolak Komentari soal Namanya Disebut di Sidang Sengketa Pilpres 2024

Presiden Joko Widodo atau Jokowi enggan mengomentari soal namanya ikut diseret-seret dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi enggan mengomentari soal namanya ikut diseret-seret dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Dia menekankan dirinya tak mau mengomentari apapun yang berkaitan dengan sidang di MK.

"Loh saya tidak mau berkomentar yang berkaitan dengan MK ya," kata Jokowi kepada wartawan di Mercure Hotel Ancol, Jakarta Utara, Kamis (28/3/2024).

Sebelumnya, Tim Hukum Nasional (THN) Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Bambang Widjajanto menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) membiarkan para menterinya terlibat dalam kampanye pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

"Sebagai upaya untuk memenangkan kontestasi, Presiden Jokowi ternyata juga menggerakan atau setidak-tidaknya membiarkan beberapa anggota menteri kabinet terlibat dalam kampanye paslon 02 serta pejabat negara lainnya," kata Bambang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu, (27/3/2024).

Beberapa menteri yang disebut terlibat antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Erick Thohir, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Komunikasi Budi Arie Setiadi, dan Wakil Menteri Agraria Juli Antoni.

Mereka diduga melakukan berbagai kegiatan kampanye untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran.

Sementara itu, Anggota tim hukum Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail, mengungkapkan tiga skema nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Hal itu Annisa sampaikan saat membacakan permohonan dalam sidang perdana sengketa pilpres 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (27/3/2024).

"Pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif) yang dipermasalahkan dalam permohonan a quo adalah nepotisme yang melahirkan abuse of power terkait koordinasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo semata-mata demi memastikan agar paslon 2 (Prabowo-Gibran) memenangkan pilpres 2024 dalam satu putaran," kata Annisa.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Skema Diduga Nepotisme

Annisa menjabarkan, skema nepotisme pertama yang dilakukan Presiden Jokowi yakni memastikan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju dalam pilpres 2024.

"Skema pertama, nepotisme yang dilakukan guna memastikan Gibran Rakabuming Raka memiliki dasar untuk maju sebagai kontestan dalam pilpres 2024 yang dimulai dengan dimajukannya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wali kota Surakarta," ungkap Annisa.

Untuk meloloskan Gibran dalam kontestasi pilpres 2024, maka Presiden Jokowi melibatkan paman Gibran yang merupakan Ketua Hakim MK yakni Anwar Usman.

"Lalu keikutsertaan Anwar Usman dalam perkara nomor 90 tahun 2023 sampai dengan digunakannya termohon untuk menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka yang mana akhirnya keduanya dinyatakan melanggar etika," ucapnya.

3 dari 3 halaman

Mengatur Pihak

Kemudian, skema nepotisme kedua, mengatur agar pihak-pihak yang berada di lingkaran Presiden Jokowi memegang posisi penting yang berhubungan dengan Pilpres 2024.

"Guna menyiapkan jaringan yang diperlukan untuk mengatur jalannya Pilpres 2024 yang dimulai dengan dimajukannya orang-orang dekat Presiden Joko Widodo untuk memegang jabatan penting sehubungan dengan pelaksanaan Pilpres 2024. Khususnya ratusan pejabat kepala daerah," ujar Annisa.

Terakhir, Presiden Jokowi mengadakan pertemuan dengan pejabat desa hingga pusat serta memobilisasi bantuan sosial.

"Nepotisme yang dilakukan untuk memastikan agar paslon 02 memenangkan Pilpres 2024 dalam satu putaran yang dilakukan dengan berbagai cara, mengadakan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pejabat di berbagai lini mulai dari pemerintah pusat hingga pemerintah desa," jelas dia.

"Yang kemudian dikombinasikan dengan politisasi bansos sebagaimana terlihat dari aspek waktu pembagian, aspek jumlah yang dibagikan, aspek pembagi bantuan sosial, dan tentunya aspek penerima bansos," Annisa menambahkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini