Sukses

Bamsoet Ingin Sistem Pemilihan Langsung di Indonesia Dikaji Ulang

Menurut Bamsoet, sistem pemilu di Indonesia saat ini menimbulkan perpecahan. Dia mencontohkan efek Pilpres 2019 yang menimbulkan keterbelahan antarmasyarakat masih terasa.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo atau Bamsoet menilai sistem pemilihan langsung yang dijalankan di Indonesia saat ini harus dikaji ulang. Bamsoet mengingatkan sesuai Pancasila, Indonesia identik dengan musyawarah atau keterwakilan.

"Saya juga sudah mendorong para perguruan tinggi untuk mengkaji kembali apakah sistem yang kita jalankan hari ini, demokrasi yang kita jalankan hari ini dengan pemilihan langsung, dengan apa yang terjadi pada hari ini lebih banyak mudaratnya atau manfaatnya. Ini saya minta dikaji kembali," jelas Bamsoet dalam Peringatan 9 Tahun UU Desa di Istora Senayan Jakarta, Minggu (19/3/2023).

"Karena jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya adalah musyawarah kemufakatan kepemimpinan atau keterwakilan," sambungnya.

Menurut dia, sistem pemilu di Indonesia saat ini menimbulkan perpecahan. Bamsoet mencontohkan efek Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang menimbulkan keterbelahan antar masyarakat masih terasa hingga kini.

"Saya tidak ingin demokrasi yang dianut oleh barat memecah belah bangsa kita. Pilih lurah berantem, pilih kepala desa berantem, pilih bupati wali kota berantem, pilih gubernur berantem. Pilih presiden residunya sampai sekarang keterbelahaan itu masih kita rasakan," ujar Bamsoet.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bamsoet: Ini PR Bersama

Oleh sebab itu, kata Bamsoet, perguruan tinggi harus memikirkan sistem demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Hal ini agar tidak ada perpecahan di Indonesia setiap ada pesta demokrasi.

"Kita perlu kita pikirkan bagaimana demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Ini PR kita bersama," ucap Bamsoet.

Sebagai informasi, acara ini dihadiri ribuan kepala desa. Adapun tiga tuntutan kepala desa antara lain, meminta 10 persen APBN dialokasikan untuk desa, menolak penundaan pemilihan kepala desa (Pilkades) 2023, dan menetapkan 15 Januari sebagai Hari Desa Nasional.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.