Sukses

Yap Tjwan Bing, Apoteker yang Ikut Menyiapkan Kemerdekaan RI

Ketika berada di Belanda (1932-1939), Yap melahap banyak buku politik. Ia aktif bergaul dengan para aktivis Perhimpunan Indonesia.

Jumat 17 Agustus 1945 sekitar pukul 23.00. Telepon berdering di rumah Yap Tjwan Bing di Jalan Naripan, Bandung. Peneleponnya adalah seseorang dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta. Isi pesan: Sabtu, 18 Agustus 1945, pukul 11.00, Yap harus ada di Gedung Pejambon Jakarta untuk bersidang.

Acara pokok PPKI di hari itu adalah membicarakan dan mengesahkan UUD 1945, memilih presiden dan wakil presiden, dan menetapkan untuk sementara waktu bahwa Presiden dalam melaksanakan tugas-tugasnya dibantu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Beberapa jam sebelumnya, sebuah perayaan kecil digelar di rumah itu. "...di rumah saya hanya terdapat satu botol champagne, sehingga kami minum bersama untuk menunjukkan kegembiraan kami karena Indonesia telah memperoleh kemerdekaan. Perjuangan kami selama ini tidak sia-sia," kata Yap seperti dikutip buku Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya karya H. Junus Jahja.

Tuan rumah mengundang sejumlah rekan, termasuk AH Nasution (kelak menjadi petinggi militer Indonesia) dan beberapa tokoh lain di Bandung.

PPKI dibentuk pada 7 Agustus 1945. Anggotanya 27 orang dengan Sukarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Yap menjadi satu-satunya wakil dari golongan Tionghoa. Pada 18 Agustus itu, PPKI dibubarkan dan KNIP. Yap diangkat menjadi salah seorang anggota.

Lahir di Solo, 31 Oktober 1910. Setelah lulus sebagai sarjana farmasi dari Universitas Amsterdam pada 1939, ia mendirikan apotek di Bandung dan aktif dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Jauh sebelumnya, sejak remaja, ia telah menaruh simpati pada perjuangan yang dipimpin Sukarno dan Hatta itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman



"Bung Karno adalah pemimpin besar yang berani dan mempunyai keinginan keras untuk memerdekakan bangsanya. Bung Hatta merupakan tokoh pemikir yang tenang dalam menghadapi segala ketegangan dan kesulitan disertai dengan senyumnya yang terkenal itu," kata Yap.

Ketika berada di Belanda (1932-1939), Yap melahap banyak buku politik. Ia aktif bergaul dengan para aktivis Perhimpunan Indonesia yang dipimpin Hatta meski tak menjadi anggotanya.

Setelah Kemerdekaan, ia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Sukarno. Yap berkisah, "Saya mulai tertarik pada asas PNI yang dipelopori oleh Bung Karno karena orientasinya pada kepentingan rakyat (marhaen) dan rasa kebangsaannya (nasionalisme). Selama di Yogyakarta, saya sungguh-sungguh berusaha untuk mengenal PNI."

Sebagai anggota Dewan Pimpinan PNI, ia mengepalai Departemen Ekonomi. Sebenarnya ia tidak suka menerima tugas ini karena mencemaskan conflict of interest.

"Sebagai warga negara keturunan Cina, saya mengetahui bahwa sebagian besar warga keturunan Cina bekerja sebagai pedagang. Oleh karena itu saya menolak penunjukan dari  Dewan Pimpinan PNI untuk mengepalai seksi ekonomi," lanjut Yap. Tapi penolakannya tak diterima.

Saat pemerintahan pindah ke Yogyakarta, Januari 1946, Yap turut hijrah sebagai anggota DPR dan kemudian DPR-RIS. Di Kota Gudeg, ia tinggal di Jalan Pakuningratan, bertetangga dengan para tokoh lain seperti Moh. Roem, Tabrani, Djuanda, dan Rooseno.
3 dari 3 halaman



Pada masa ini pula atas permintaan Dr. Sardjito, Yap turut berperan serta dalam pembentukan Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menjadi dosen di sana.

Di Yogyakarta, Yap terpukau dengan kehidupan harmonis antaretnis. Juga dengan sikap para pemimpin Indonesia dalam berinteraksi dengan rakyat setempat. "Semua bekerja sama dengan satu tujuan, yaitu memenangkan revolusi untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia tercinta," katanya.

Tragis, pada 1963, terjadi kerusuhan rasial di Bandung. Mobil dan bungalow Yap dibakar massa. Istri Yap sangat ketakutan terutama memikirkan putra tunggal mereka menderita polio.

Juga dengan niat mengobati sang putra, keluarga itu hijrah ke Los Angeles, Amerika Serikat.

Di AS, pada 1970, Yap terkena stroke. Kesehatannya terus merosot. Ia akhirnya menemui Sang Pencipta pada 1988.

20 tahun kemudian, persis di Hari Raya Imlek, Walikota Solo Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Jalan Yap Tjwan Bing, menggantikan nama Jalan Jagalan di Solo.

"Dengan momentum perayaan Imlek 2559 ini, Pemkot Solo memberikan penghargaan setinggi-tingginya untuk tokoh nasional Yap Tjwan Bing sebagai nama salah satu jalan di Solo," kata Jokowi. (Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini