Sukses

Cak Imin soal RUU Penyiaran: Melarang Investigasi Artinya Mengebiri Kapasitas Premium Pers

Saat ini, kata Cak Imin, RUU Penyiaran masih berupa draft sehingga masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan aspirasi masyarakat dan media.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berharap Rancangan Undang-Undang atau RUU Penyiaran terbaru mampu mengatasi tantangan jurnalisme dalam ruang digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

"Pers adalah salah satu pilar demokrasi. Jika kebebasan pers dibatasi, artinya kita juga mengekang demokrasi. Maka dari itu, saya titipkan 8 agenda perubahan kepada presiden terpilih, Pak Prabowo, yang isinya dengan tegas meminta agar kualitas demokrasi diperkuat, sekaligus menjamin kebebasan pers. Kebebasan pers pada dasarnya adalah kontrol untuk hal yang lebih baik," kata Cak Imin, dalam keterangan resmi, Kamis, (16/5/2024).

Saat ini, kata Cak Imin, RUU Penyiaran masih berupa draft sehingga masih ada waktu untuk menyerap dan mendengarkan aspirasi masyarakat dan media.

Dia menilai, melarang penyiaran program investigasi, sama saja dengan membunuh jurnalisme. Mengingat kabar-kabar pendek seperti breaking news atau info viral relatif sudah diambil alih media sosial. Maka, jurnalisme sangat diandalkan dalam melahirkan informasi yang panjang, lengkap, dan mendalam.

"Mosok jurnalisme hanya boleh mengutip omongan jubir atau copy paste press release? Ketika breaking news, live report bahkan berita viral bisa diambil alih oleh media sosial, maka investigasi adalah nyawa dari jurnalisme hari ini," ujar dia.

“Dalam konteks hari ini, melarang penyiaran program investigasi dalam draft RUU Penyiaran pada dasarnya mengebiri kapasitas paling premium dari insan pers, sebab investigasi tidak semua bisa melakukannya,” tambahnya.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI itu, memahami pentingnya kemampuan masyarakat dalam memilah berita yang kredibel di tengah gempuran banjir informasi melalui sosial media dan berbagai platform penyiaran.

"Revisi UU Penyiaran harus mampu melindungi masyarakat dari hoaks dan misinformasi yang semakin merajalela, tanpa mengamputasi kebebasan pers. Masyarakat juga berhak untuk akses terhadap informasi yang seluas-luasnya. Tidak Boleh ada sensor atas jurnalisme dan ekspresi publik," imbuh Cak Imin.

2 dari 3 halaman

Dewan Pers Tolak RUU Penyiaran, Ini Alasannya

Dewan Pers dan para konsituen menegaskan menolak menolak draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang digodok di DPR RI.

Dewan Pers menilai RUU Penyiaran ini akan menghilangkan kebebesan pers dalam melahirkan karya jurnalistik.

 "RUU Penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas," kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Kantor Dewan Pers Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2024).

Dia khawatir apabila RUU ini diteruskan, produk pers akan menjadi burukdan melahirkan pers yang tidak profesional dan independen. Ninik lalu menyoroti keberadaan pasal dalam RUU ini yang dapat memunculkan larangan liputan bersifat investigasi.

"Ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU Nomor 40 Pasal 4. Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran dan pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," jelasnya.

Kemudian, Ninik menyapaikan dalam RUU ini, penyelesaian sengketa jurnalistik akan dilakukan oleh lembaga yang tak memiliki mandat terhadap penyelesaian etik terhadap karya jurnalistik.

Dia menegaskan mandat penyelesaian karya jurnalistik itu seharunya ada di Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam undang-undang.

"Oeh karena itu, penolakan ini didasarkan juga, bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu undang-undang dengan yang lain tidak tumpang tindih," tutur Ninik.

3 dari 3 halaman

AJI Juga Menolak

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, yang saat ini sedang bergulir di DPR RI.

"AJI menolak. Pasal-pasalnya banyak bermasalah. Jadi kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah," kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana di Jakarta, Rabu 24 April 2024, seperti dikutip dari Antara.

Dia pun menyarankan jika UU itu harus direvisi, sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR periode selanjutnya, bukan mereka yang di periode saat ini. Alasannya, dengan waktu yang tinggal beberapa bulan lagi, serta masih dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam.

Bayu mencontohkan beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, diantaranya pasal 56 ayat 2 poin c, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata," ungkapnya.

Bahkan, kata dia, peluang tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewan Pers . Hal itu ada dalam pasal 25 ayat q yakni menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran dan pasal 127 ayat 2, di mana penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik," tegas dia.

Bayu meminta pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers, harus dihapus dari draf RUU itu. Menurut dia, jika hendak mengatur karya jurnalistik di penyiaran, sebaiknya merujuk pada UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Bahkan, pada konsideran draf RUU Penyiaran, sama sekali tidak mencantumkan UU Pers," ujarnya.

 

Reporter: Alma Fikhasari/Merdeka