Sukses

KemenPPPA Minta Kasus Perundungan di SMA Binus Internasional Selesai dengan Cara Diversi

Polisi menetapkan 8 siswa SMA Binus Internasional di Tangerang Selatan, sebagai anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH atas kasus perundungan dan kekerasan sesama siswa, Jumat (1/3/2024).

Liputan6.com, Jakarta Polisi menetapkan 8 siswa SMA Binus Internasional di Tangerang Selatan, sebagai anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH atas kasus perundungan dan kekerasan sesama siswa, Jumat (1/3/2024).

Terkait hal itu, Kemeneterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berharap kasus ini bisa selesai dengan cara diversi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Pasal 1 Ayat 7, yang dimaksud diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

"Kita juga tidak luput memperhatikan bahwa, di sini ada anak berkonflik dengan hukum, perlu mendapatkan bantuan hukum termasuk hak pendidikan. Maka dari itu, kami mendorong upaya Polres Tangsel untuk upaya diversi, sesuai dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak," kata Plt Asisten Deputi Layanan Anak KemenPPPA, Lany Ritonga, di Tangsel.

Selain itu, menurut dia, adalah ancaman pidana hukumnya masih di bawah 7 tahun. Sehingga upaya diversi bisa dilakukan.

Meski demikian, Lany mengaku pihaknya pihaknya mengapresiasi kepolisian yang sudah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus perundungan tersebut.

Dia menegaskan, ini bisa jadi pembelajaran bagi siapapun, agar kasus seperti ini tidak akan terulang kembali.

"Kami kawal dan pastikan untuk ABH, anak korban mendapatkan pemulihan sampai tuntas, dan pemenuhan haknya juga didapatkan. Kami juga upayakan, ABH untuk dapatkan haknya sesuai UU peradilan anak," jelas Lany.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

8 Siswa SMA Binus Serpong Naik Statusnya Menjadi Anak Berkonflik dengan Hukum

Polisi menetapkan 8 siswa SMA Binus Internasional di Tangsel, sebagai anak yang berkonflik dengan hukum atau ABH atas kasus perundungan dan kekerasan sesama siswa, Jumat (1/3/2024).

Terhadap 7 orang anak saksi lainnya, ditetapkan anak berkonflik terhadap hukum atau ABH. Diduga ketujuh anak tersebut melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur dan atau pengeroyokan.

“Selanjutnya, terhadap 7 orang anak saksi, ditetapkan anak yang berkonflik terhadap hukum atau ABH, yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak dibawah umur dan atau pengeroyokan,” ujar Kasat reskrim Polres Tangsel, AKP Alvian Cahyadi.

Lalu, satu orang anak saksi yang diduga melakukan menurunkan paksa celana anak korban, diduga melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak di bawah umur dan atau tindak pidana melanggar keasusilaan terhadap anak korban dan atau pengeroyokan.

Namun, saat ditanya apakah dari ketujuh anak yang sudah dinaikan statusnya dari saksi menjadi ABH tersebut, adakah salah satunya anak dari artis Vincent Rompies, polisi memilih bungkam karena mematuhi Undang-undang.

“Perlu kami berikan pemahaman juga, sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pada Pasal 19 ayat 1, untuk identitas anak korban, dan atau anak saksi, wajib dirahasikan dalam pemberitaan di media cetak atau elektronik. Pasal 19 ayat 2, identitas seperti yang dimaksud ayat 1 meliputi nama anak, nama anak korban, anak saksi, orangtua, alamat, dan hal lain yang dapat mengungkapkan identitas jati diri anak korban atau anak saksi,”tutur Kasat Reskrim.

 

3 dari 3 halaman

KPAI Minta Perhatikan Sistem Peradilan Anak

Sementara dilain pihak, Komisioner KPAI, Dyah Puspitarini mengharapkan, penegakan hukum ini harus tetap memperhatikan sistem peradilan anak. KPAI mengaku akan tetap mengawal kasus ini hingga akhir.

“Kami akan tetap mengawal, bagaimana penegakan dan sistem peradilan anak. Jangan sampai ada hak-hak anak terabaikan,” tegasnya.

Juga kasus ini harus jadi pembelajaran, jangan sampai ada kasus perundungan dan kekerasan lagi menimpa anak di bawah umur. Baik di sekolah, di luar sekolah, di daerah manapun di Indonesia.

“Kita berkomitmen, segala bentuk kekerasan harus kita hapus. Juga tak kalah penting adalah, harus mengedukasi dalam rangka pencegahan,” ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini