Sukses

Banalitas Korupsi dalam Pilkada

Dalam banalitas ini, bahkan orang jujur justru sering dianggap tidak beruntung. Jujur dianggap sesuatu yang membuat penderitaan.

Liputan6.com, Jakarta - Negeri tercinta ini sangat kaya, yang jika dikelola dengan benar, cita-cita kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial akan benar-benar bisa diwujudkan bersama. Namun sayang, yang terjadi korupsi justru semakin merajalela. Sudah banyak pejabat tinggi yang terjerat kasus korupsi dan tertangkap tangan oleh KPK.

Namun alih-alih mengundurkan diri, disorot media pun mereka masih bisa acung jempol sambil tersenyum, seakan menunjukkan diri mereka bersih tak bersalah. Seakan sudah putus urat malunya.

Memang kita tidak memiliki kultur malu (shameculture), tetapi sikap seperti yang mereka tunjukkan itu sungguhlah keterlaluan. Sudah selayaknya langkah KPK dalam berbagai pengungkapan kasus korupsi itu diapresiasi.

Penegakan hukum yang tanpa tebang pilih memang sangat dibutuhkan sebagai bagian penting dari solusi atas masalah korupsi yang membanal. Tetapi penegakan hukum saja tidaklah cukup untuk mengangkat penyakit yang sudah sekian lama menggerogoti kehidupan bernegara kita.

Banyaknya pejabat dan mantan pejabat yang terjerat kasus korupsi mengindikasikan sistem perpolitikan kita yang masih bermasalah, bahkan sejak di awal prosesnya.

Sistem perpolitikan kita masih sangat rentan, dan bahkan sudah terkontaminasi sehingga membuka peluang untuk tumbuh suburnya tindak korupsi.

Datangnya era desentralisasi justru menjadikan tindak korupsi ini semakin menyebar ke daerah-daerah yang jelas-jelas ini mengancam kedaulatan dan kehidupan demokrasi kita.

Kultur politik kita cenderung pragmatis. Dalam masa-masa kampanye, terlihat jelas bagaimana banyak kandidat tanpa merasa bersalah, tega bersikap menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan mereka.

Politik uang, serangan fajar, bagi-bagi amplop dan sembako telah menjadi banal dan tak lagi membuat risih mereka yang terlibat, baik yang memberi maupun yang menerima.

Jika di awal proses pemilihan saja sudah seperti itu, pertanyaan besarnya, bagaimana integritas mereka nanti ketika benar terpilih sebagai pemimpin? Sebagai kemungkinan, peluang tergodanya untuk melakukan praktek-praktek yang serupa akan sama besar.

Ketika berkuasa, sangat mungkin mereka akan melakukan tindakan-tindakan korup yang melanggar hukum seperti korupsi, sogok menyogok, manipulasi dan sebagainya.

Sebagai ilustrasi, dalam proses gelaran Pilkada serentak 2018 yang baru lalu, tercatat setidaknya ada sembilan calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Sebagian besar adalah praktek suap menyuap, dan yang lainnya adalah korupsi dalam pengadaan lahan.

Sementara dari Pilkada serentak sebelumnya di tahun 2017, setidaknya ada 15 nama kepala derah yang menjadi tersangka, dan celakanya delapan di antara nama itu tepat berniat maju dalam Pilkada.

Lebih memprihatinkan lagi ketika ternyata empat kandidat berstatus tersangka itu berhasil memenangkan Pilkada, dengan dua di antaranya berhasil mendapatkan suara mayoritas.

Sebagai tambahan, pada Pilkada 2015 pun terjadi fenomena yang sama, di mana setidaknya ada empat kepala daerah terpilih yang berstatus tersangka.

Untuk membangun pemerintahan yang bersih dan anti korupsi memanglah tidak mudah, dan ini menjadi tanggung jawab bersama. 

Korupsi tidaklah cukup dilihat sebagai kejahatan kriminal biasa, tetapi harus dilihat sebagai kejahatan yang luar biasa, sekaligus penyakit sosial dan penyakit psikologis individu yang harus ditelusur dan diangkat hingga ke akar-akarnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Pentingnya Membangun Budaya Malu

Banyak orang berpendapat bahwa kita ini termasuk bangsa yang religius. Namun ketika  agama hanya berhenti pada formalitas dan ritual saja, dan tidak hidup dalam cara berpikir serta bertindak seseorang, maka terbangunnya budaya bersih bebas dari korupsi masihlah jauh panggang dari api.

Banyak oknum pejabat tetap tidak akan punya rasa malu ketika mereka tidak bisa membedakan mana milik privat dan mana milik publik. Rasa malu itu hilang karena persoalan-persoalan itu dianggap wajar.

Dalam banalitas ini, bahkan orang jujur justru sering dianggap tidak beruntung. Jujur dianggap sesuatu yang membuat penderitaan.

Ironis untuk mengatakan, bahwa dalam beberapa kesempatan sepertinya publik lebih suka pada kandidat yang tidak jujur. Fakta terpilihnya sejumlah kandidat berstatus tersangka dengan suara mayoritas tadi membuktikan itu.

Media pun tak lepas dari tanggung jawab ini, dalam arti, selama ini mereka juga banyak menampilkan orang-orang tidak jujur untuk menyampaikan pesan-pesannya pada publik.

Problem kita hari ini adalah kurang terlibatnya orang-orang baik. Akibatnya, negeri ini banyak diisi oleh orang-orang yang tidak baik. Maka ketika media hanya mengutip orang-orang tidak baik saja, maka kita akan semakin kehilangan nilai-nilai keutamaan.

Jadi problemnya adalah kurangnya keteladanan. Sementara keteladanan itu dimulainya dari atas. Jadi budaya malu itu harus dibangun dari atas. Kalau atasnya busuk ya bawahnya busuk. Kalau atasnya tidak punya budaya malu dan tidak konsisten, ya orang-orang akan meniru.

Selama kita tidak bisa mengubah mentalitas itu, maka tidak akan ada perubahan signifikan yang terjadi. Perubahan mentalitas itu hanya bisa terjadi kalau kita mengalami pencerahan, dan pencerahan harus dimulai pada pendidikan dasar.

Selama orientasi pembangunan kita sifatnya materialistis, dan hedonistis menjadi cara kita mengekspresikan kebudayaan, maka pendidikan nilai itu pun tidak akan pernah terjadi.

Jadi persoalannya adalah harus ada yang membongkar mindset bahwa keberhasilan jangan hanya dinilai dari materi, tapi juga harus dari karakter, keteguhan, prinsip kejujuran, keadilan. Dan, nilai-nilai itulah yang harus dikedepankan dibandingkan aksesori lain.

Problem kita, selama ini kita tidak pernah mengalami revolusi kebudayaan dalam arti membangun sebuah habitus. Padahal, persoalan korupsi, manipulasi, kemerosotan moral ituhanya bisa dijawab ketika kita tercerahkan.

Untuk menuju ke sana, sekaranglah saatnya koalisi orang-orang baik tampil mengisi publik untuk memberi contoh dan menjadi teladan, untuk membenahi pendidikan dasar kita, dan untuk mulai membangun budaya malu bersamaan dengan langkah-langkah penegakan hukum.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.