Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menilai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali, menimbulkan celah bagi warga untuk terus-menerus mengajukan upaya hukum. Padahal, ada beberapa kasus yang sebenarnya tidak perlu PK.
"Mereka-mereka yang memiliki uang banyak untuk bayar pengacara misalnya, pasti akan terus mengajukan PK. Padahal, MA menilai kasusnya tidak perlu sampai ke PK," kata Kepala Biro Hukum MA Ridwan Mansyur, saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (7/3/2014).
Ridwan menjelaskan, saat ini banyak kasus yang menumpuk dan belum diselesaikan di MA. Kasus-kasus tersebut didominasi kasus narkoba dan korupsi. "Kasus-kasus narkoba dan korupsi pasti diajukan ke MA untuk dilakukan Peninjauan Kembali (PK)."
Untuk itu, kata Ridwan, MA saat ini sedang giat menggalakkan pembatasan perkara PK. Lagipula, saat upaya hukum itu berjalan tidak menghilangkan proses hukum sebelumnya yang telah memiliki kekuatan tetap. PK tidak menunda pelaksanaan hukuman baik tindak pidana, perdata atau Tata Usaha Negara (TUN).
"Kalau PK terus, kapan perkara selesai?" tandas Ridwan.
MK mengabulkan judicial review atau uji materi Pasal 268 ayat 3 UU KUHAP yang mengatur PK hanya boleh sekali. Dalam pertimbanganya, MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki hukum mengikat. Artinya, saat ini PK boleh diajukan lebih dari sekali. (Ismoko Widjaya)
Baca juga: