Sukses

Jepang Andalkan AI untuk Bantu Comblangkan Warganya yang Jomblo

Jepang sejak beberapa tahun lalu telah memanfaatkan AI untuk mencomblangkan warganya yang jomblo.

Liputan6.com, Jakarta - Jepang menghadapi banyak persoalan sosial, termasuk di antaranya soal meningkatnya kaum jomblo akibat mereka yang menikah terlambat atau bahkan tidak menikah sama sekali. Maka itu, pemerintah mencoba mengatasinya dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI).

Pemerintah di berbagai daerah sebenarnya sudah menggelar acara perjodohan tradisional dengan memanfaatkan AI untuk membantu mencari kecocokan antara calon pasangan. Mereka mengatakan ketidakcocokan itu terkadang menyebabkan orang-orang yang tidak pernah membayangkan bisa bersama untuk menikah.

Kini, pemerintah pusat ikut turun tangan dengan memberikan dukungannya pada langkah-langkah yang bisa mengatasi laju depopulasi di seluruh negeri. Subsidi untuk acara pencomblangan AI yang diselenggarakan publik telah diperluas sejak tahun fiskal 2021.

Mengutip Kyodo, Minggu (18/2/2024), menurut Badan Anak dan Keluarga, 31 dari 47 prefektur di Jepang menawarkan layanan perjodohan AI untuk membantu menemukan pasangan menikah pada akhir Maret tahun lalu, dan Pemerintah Metropolitan Tokyo bergabung dengan mereka pada Desember 2023.

Khawatir dengan menurunnya angka kelahiran dan populasi menua, Prefektur Ehime di Jepang bagian barat telah menggunakan data besar untuk mencocokkan orang-orang dengan calon yang potensial. Sistem prefektur merekomendasikan pasangan berdasarkan informasi pribadi yang terdaftar di pusat dukungan pernikahan dan riwayat penelusuran internet dari orang yang mencari pasangan.

 

 

"Tujuan dari program ini adalah untuk memperluas wawasan masyarakat sehingga mereka tidak hanya melihat faktor institusi akademik mana yang dimasuki atau usia mereka," kata Hirotake Iwamaru, seorang konselor di pusat tersebut. Sekitar 90 pasangan menikah setiap tahun dengan dukungan dari pusat tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kasus-Kasus Perjodohan yang Sukses

Prefektur Tochigi, sebelah utara Tokyo, menggunakan sistem yang sama. Katsuji Katayanagi dari pusat dukungan pernikahannya mengatakan, "Kaum muda cenderung menyerahkan urusannya kepada orang lain, jadi menurut saya kita perlu, sesekali, meminta big data untuk merekomendasikan pasangan."

Di sistem lain, pengguna menjawab lebih dari 100 pertanyaan. AI kemudian menganalisis kualitas yang dicari dari calon pasangan berdasarkan informasi yang terkumpul dan sebaliknya sebelum saling memperkenalkan kedua belah pihak.

Di Prefektur Saitama, dekat Tokyo, tempat sistem ini diperkenalkan pada 2018, terdapat 139 pasangan yang menikah pada akhir November tahun lalu. Beberapa dari mereka mengaku bertemu dengan seseorang yang tidak mungkin mereka pilih sendiri, dan seorang pejabat prefektur mengatakan bahwa sistem tersebut "menyediakan berbagai pertemuan."

Prefektur Shiga meluncurkan pusat dukungan pernikahan online pada 2022, dipicu oleh pandemi Covid-19. Mereka menggunakan sistem yang serupa dengan yang diadopsi oleh Saitama. Hingga akhir Januari, 13 pasangan telah memutuskan untuk menikah melalui support center. Enam di antaranya bekerja sama dengan mitra yang diperkenalkan oleh AI.

3 dari 4 halaman

Biaya Perjodohan

Seorang wanita berusia 30-an yang akan menikah dengan pasangan yang ditemuinya melalui layanan AI, mengatakan, "Saya sempat merasa keberatan dan cemas dalam menggunakan sistem ini pada awalnya, namun saya senang memiliki keberanian untuk mendaftar."

Mayu Komori, kepala administrator biro anak dan remaja di Prefektur Shiga, menyarankan agar mereka yang mendaftar untuk layanan ini serius untuk menikah, mengingat biaya pendaftaran yang tidak terlalu murah, yaitu 15.000 yen selama dua tahun.

"Banyak orang juga merasa yakin karena ini dijalankan oleh pemerintah prefektur," tambah Komori.

Takeaki Uno, seorang profesor teori algoritma di Institut Informatika Nasional yang terlibat dalam pengembangan sistem di Prefektur Ehime, mengatakan penggunaan AI dalam layanan perjodohan memperluas jangkauan mitra potensial. "Dari segi efektivitas biaya, lebih mudah digunakan dibandingkan swasta, dan memberikan keuntungan bagi banyak orang," ujarnya.

Jepang sejak lama mengalami masalah rendahnya angka kelahiran. Krisis demografi Jepang semakin memburuk, karena negara tersebut mengalami penurunan populasi terbesar dan tingkat kelahiran rekor yang terendah pada 2019 akibat resesi seks. Hal tersebut terungkap dalam data statistik pemerintah Jepang.

4 dari 4 halaman

Krisis Demografi di Jepang

Dilansir dari CNN, Kamis, 26 Desember 2019, perkiraan jumlah bayi yang lahir di negara itu pada 2019 turun menjadi 864.000 - terendah sejak pencatatan dimulai pada 1899 - menurut sebuah laporan yang diterbitkan Selasa oleh Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan.

Jumlah bayi baru lahir diperkirakan menyusut hingga 54.000 dari 2018. Kematian pada 2019 juga mencapai rekor tertinggi yaitu 1,376 juta sejak setelah perang, dengan penurunan populasi alami dengan angka tertinggi yaitu sebesar 512.000.

Jepang adalah negara yang dijuluki dengan "umur tua", yang berarti lebih dari 20 persen populasinya berusia lebih dari 65. Total populasi negara itu mencapai 124 juta pada 2018. Tetapi pada 2065 diperkirakan akan turun menjadi sekitar 88 juta.

Jepang tidak sendirian dalam menghadapi tingkat kesuburan yang menurun. Jerman juga merupakan negara dengan "umur tua". Dan pada tahun 2030, AS, Inggris, Singapura, dan Prancis diperkirakan akan menyandang status itu. Negara tetangga Korea Selatan, juga telah berjuang selama bertahun-tahun dengan populasi yang menua, jumlah pekerja yang menyusut, dan tingkat kelahiran yang rendah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini