Sukses

Apa Itu Tradisi Penculikan Kawin Tangkap di NTT yang Pelakunya Kini Terancam 9 Tahun Penjara?

Tradisi kawin tangkap atau kawin paksa konon telah menjadi tradisi lama di Sumba Barat Daya, NTT. Video tentang kejadian kawin tangkap tersebut ramai beredar di media sosial.

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa hari lalu viral di media sosial soal kawin tangkap setelah sebuah video menunjukkan wanita yang tengah berdiri di pinggir jalan di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) ditangkap beberapa pria. Saat itu wanita tersebut tengah santai berdiri, tapi dari belakang, para pria langsung menangkap wanita tersebut lalu membopong masuk ke dalam mobil pikap. Sontak saja wanita tersebut kaget dan berteriak.

Ada seorang wanita lainnya yang terlihat membantu agar wanita tersebut masuk ke dalam mobil pikap. Seorang wanita lainnya yang berada di dekat korban sempat menahan segerombolan pria itu untuk tidak membawa wanita tersebut, tapi usahanya tidak membuahkan hasil. "Ini kawin paksa, kasihan," ujar perekam video.

Berdasarkan beberapa video yang beredar, aksi penculikan tersebut dinarasikan sebagai bagian dari tradisi kawin tangkap atau kawin paksa. Konon, hal tersebut sudah merupakan tradisi lama di NTT. Video tersebut ramai beredar di media sosial, salah satunya dibagikan oleh akun TikTok @monika_dangga.

Setelah menangkap target, para pria dengan beberapa pemotor langsung tancap gas membawa kabur wanita tersebut. Mereka juga bersorak-sorai gembira karena telah menangkap target untuk dinikahkan secara paksa.

Meski disebut sebagai tradisi kejadian tersebut tetap dilaporkan ke pihak berwajib. Pihak kepolisian pun langsung bertindak. Empat orang pelaku kawin paksa di NTT itu sudah ditangkap polisi.

Para pelaku ditangkap di kediaman pria yang diduga akan dijadikan sebagai suami korban. Dilansir dari Merdeka.com, Jumat, 8 September 2023, Kasat Reskrim Polres Sumba Barat Daya, AKP Rio Panggabean mengatakan, para pelaku ditangkap di Desa Weekura, Kecamatan Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, Kamis , 7 September 2023.

"Saat ini para terduga pelaku sudah dibawa ke Polres Sumba Barat Daya untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Korban maupun para pelaku sedang diperiksa di unit PPA Satreskrim Polres Sumba Barat Daya," terang Rio Panggabean.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pelaku Penculikan Terancam 9 Tahun Penjara

Kabar terbarunya, Penyidik Satreskrim Polres Sumba Barat Daya (SBD), NTT telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus kawin paksa di Desa Waimangura, Kecamatan Wewewa Barat, Sabtu, 9 September 2023. Keempat tersangka berinisial, JBT (45), HT (25), VS (25) dan MN (50). "Iya ada empat orang yang kita sudah tetapkan sebagai tersangka," ucap Kapolres Sumba Barat Daya, AKBP Sigit Harimbawan.

Sigit Harimbawan mengungkapkan, para pelaku yang sudah diamankan di Polres Sumba Barat Daya itu dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dan pasal 10 Undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Kami menyimpulkan bahwa para pelaku terbukti melakukan penculikan sehingga diberikan ancaman sembilan tahun penjara sesuai pasal yang diterapkan," terang Sigit.

Sementara itu, Pulau Sumba, termasuk masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya memiliki tradisi kawin tangkap (paneta mawinne). Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Mareda Kalada, Kecamatan Wewewa Timur, Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi NTT.

Dikutip dari jurnal Kawin Tangkap (Studi Sosiologi tentang Makna dan Praktik Kawin Tangkap di Desa Mareda Kalada, Kec. Wewewa Timur, Kab. Sumba Barat Daya) yang dirilis oleh Elsiati Tanggu, dkk., tradisi kawin tangkap merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara menangkap perempuan dengan paksa untuk dikawinkan dengan seorang pria yang tidak dicintainya.

3 dari 4 halaman

2 Jenis Kawin Tangkap

Tradisi kawin tangkap memiliki makna dalam mengangkat derajat atau untuk menghilangkan rasa malu kepada keluarga laki-laki. Bagi masyarakat di Kabupaten Sumba Barat Daya, perkawinan sendiri merupakan suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang untuk penerusnya. Bagi masyarakat Sumba, makna perkawinan adalah sebuah proses untuk menyatukan Perempuan dan laki-laki.

Sedangkan pelaksanaan kawin tangkap merupakan perkawinan yang terjadi tanpa persetujuan salah satu pihak. Tradisi ini terjadi bukan atas dasar cinta, tetapi karena kesepakatan antara orang tua laki-laki dan perempuan, tanpa sepengetahuan perempuan. Motivasi yang melatarbelakangi tradisi ini pun beragam, seperti masalah ekonomi terlilit hutang, atau karena alasan kekerabatan.

Dalam praktiknya sendiri, terdapat dua jenis kawin tangkap, yaitu :

- Kawin Tangkap (Tadoro)

Jenis perkawinan ini dilakukan untuk mempermudah pembelisan atau mahar. Praktik ini sendiri sudah memiliki persetujuan dari kedua belah pihak keluarga dan calon yang bersangkutan.

- Kawin Tangkap (Padeta)

Jenis kawin tangkap ini dilakukan secara paksa dan korbannya adalah perempuan. Perempuan tersebut akan dikawin tangkapkan ketika apa yang sudah menjadi kesepakatan diingkari oleh perempuan.

Ada perbedaan antara penerapan tradisi kawin tangkap di zaman dahulu dengan saat ini. Pada zaman dahulu, jika terdapat laki-laki yang suka kepada seorang perempuan, ia akan berusaha untuk menangkapnya secara paksa sekalipun perempuan tersebut sudah bersuami.

4 dari 4 halaman

Kawin Tangkap Termasuk Kekerasan Seksual

Namun saat ini, kawin tangkap dilakukan dengan berbagai macam persoalan, seperti adanya janji antara laki-laki dan perempuan, atau karena janji orang tua tetapi diingkari. Oleh karena itu, terjadilah kawin tangkap dengan dalih untuk menghilangkan rasa malu.

Tradisi ini adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Ini termasuk kekerasan seksual, yang berarti korban mengalami kerugian hak-hak mereka, seperti hak-hak yang dijamin oleh Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, dan hukum-hukum lain yang melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak.

Pelaksanaan kawin tangkap yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan dari pihak perempuan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perkawinan yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Pasalnya, tujuan dari perkawinan seharusnya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng.

Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan sebenarnya ada untuk melindungi agar tidak ada perkawinan yang terjadi secara paksa. Perkawinan seharusnya menjadi hak asasi manusia yang harus diputuskan secara bebas oleh individu tanpa tekanan dari siapa pun.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini