Sukses

Menerapkan Komitmen Nol Sampah dengan Pakai Botol Daur Ulang dan Dorong Pajak Plastik

Re.juve mengklaim memakai botol kemasan berstandar food grade yang dapat didaur ulang jadi benda-benda bernilai ekonomi.

Liputan6.com, Jakarta - Merujuk fakta bahwa Indonesia masuk daftar teratas negara penyumbang sampah plastik ke lautan, mencapai 56.333 metrik ton per tahun, penanganan limbah di dalam negeri seharusnya kian canggih. Data tersebut berdasarkan penelitian Lourens J.J. Meijer dan rekan-rekannya yang dipublikasikan di jurnal Science Advance pada 2021.

Sampah plastik selama ini mencemari air laut, sehingga mengganggu rantai makanan dan membunuh biota laut. Di tengah kondisi itu, produsen makanan dan minuman kemasan perlu ikut andil. 

Salah satunya Re.juve, merek cold-pressed juice yang berkomitmen menuju upaya nol sampah. "Salah satu usaha kami untuk tidak menambah sampah plastik," ungkap Richard Anthony, CEO & President Director Re.juve saat media gathering 9 Tahun Re.juve di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 23 Mei 2023. 

Di antara upayanya, mereka merilis kampanye "Bring Back Your Empty Re.juve Bottle" pada 2019, yang merupakan kampanye kolaboratif antara konsumen dan Re.juve. Program ini mengajak konsumen mengembalikan botol pascakonumsi merek itu ke gerai terdekat mereka untuk disalurkan pada bank sampah lokal.

Botol tersebut akan didaur ulang jadi benda-benda bernilai ekonomi bagi masyarakat sekitar, salah satunya seperti peralatan rumah tangga atau dakron. Selain itu pada 2020, Re.juve secara serentak mengganti semua kemasan botol plastik PET yang digunakan pada seluruh varian Re.juve jadi 100 persen botol Recycled-PET (rPET) berstandar food grade, yang juga dapat didaur ulang kembali menjadi benda-benda bernilai ekonomi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mencegah 280 Juta Ton Sampah

"Terhitung sejak awal tahun 2020 hingga saat ini, sudah lebih dari 280 ton sampah plastik tambahan yang telah berhasil dicegah Re.juve untuk berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), laut, serta tempat-tempat lain," tambah Richard.

Jumlah ini, menurutnya, sama dengan sekitar 17,5 juta buah botol air minum dalam kemasan. "Saya yakin Re.juve dapat berkontribusi lebih lagi dalam mengurangi sampah plastik secara realistis,” lanjutnya.

Pengurangan sampah plastik, kata mereka, memang memiliki tingkat urgensi tinggi. Tidak hanya di Indonesia, namun juga dunia.

"rPET memiliki peranan penting untuk mencapai tujuan tersebut. Semoga penggunaan rPET ke depannya dapat memberi pengaruh positif terhadap pembentukan kebijakan pemerintah dalam mengatasi sampah plastik, di antaranya seperti regulasi yang mewajibkan penggunaan recylcled plastic (rPET), serta semakin banyaknya fasilitas pengolahan sampah plastik yang memadai," imbuhnya.

Richard mengatakan bahwa sempat ada wacana dari pemerintah bahwa penggunaan plastik sebaiknya dikenakan pajak untuk mengurangi minat pemakaian plastik. Menurutnya, hal itu memungkinkan diterapkan sebagai langkah untuk membatasi penggunaan plastik kemasan yang tidak bisa didaur ulang.

3 dari 4 halaman

Wacana Pajak Plastik

Melihat dampaknya secara realistis, plastik tidak mungkin tidak digunakan saat ini. "Jadi, harus dilihat kembali bahwa plastik yang dipakai apakah bisa didaur ulang kembali karena ada yang tidak bisa di-recycle. Nah, plastik seperti ini (tidak bisa didaur ulang) harus dikenakan pajak paling tinggi karena dilihat dari impact lingkungan yang paling parah, karena mau dijadikan barang lain tidak bisa," papar Richard.

Sementara plastik yang dapat didaur ulang, ia menyarankan, dikenakan pajak lebih rendah. "Dalam penerapannya, sebaiknya dilihat juga kandungan recycle content-nya. Jadi, kalau plastik itu dipakai dari plastik yang sudah ada, berarti tidak menambah sampah plastik, seharusnya ini tidak kena pajak atau seminim mungkin," sambungnya.

Sementara jika bisa didaur ulang, namun dibuat dari virgin plastic, produk tersebut seharusnya dikenakan pajak tinggi. Dengan begitu penggunaan kantong plastik juga terdampak. 

"Daripada sekarang penerapannya cuma pada di kasir supermarket dan pada akhirnya ada bisnis yang memanfaatkan sebenarnya, suruh bayar dan buat keuntungan lagi, tapi produknya sendiri dibungkus plastik," papar Richard. 

4 dari 4 halaman

Bagaimana Sampah Plastik Berakhir di Laut?

Penting mengetahui terlebih dahulu perjalanan yang ditempuh sampah-sampah itu hingga akhirnya berakhir di lautan. Mengutip kanal Global Liputan6.com, sebagian besar sampah plastik di laut merupakan sampah yang berasal dari taman, pantai, maupun sepanjang saluran pembuangan air di jalanan.

Sampah-sampah plastik ini dibawa ke saluran pembuangan, aliran, dan sungai oleh angin dan limpahan air hujan. Sungai-sungai beralih lalu fungsi menjadi jalan raya untuk sampah plastik, mengangkutnya menuju lautan.

Bukan hanya dari daratan, sampah di lautan juga sebagian besar berasal dari jaring ikan yang rusak atau jaring yang terbuang dan dibiarkan mengendap di dasar laut. Jaring-jaring ini juga sering kali menyakiti hewan laut. Sebagian orang bisa berpikir bahwa negara yang paling banyak memproduksi atau mengonsumsi plastik otomatis jadi negara yang juga paling banyak mencemari lautan.

Tapi, pemikiran itu terbukti tidak benar. Contohnya ketika China menghasilkan sampah plastik 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan Malaysia, tapi hanya menyumbang 0,6 persen sampah plastik di lautan sedangkan Malaysia mencapai sembilan persen.

Berikut adalah 10 Negara Penyumbang Sampah Plastik Terbanyak di Lautan

1. Filipina : 356.371 ton

2. India : 126.513 ton

3. Malaysia : 73.098 ton

4. China : 70.707 ton

5. Indonesia : 56.333 ton

6. Myanmar : 40.000 ton

7. Brazil : 37.799 ton

8. Vietnam : 28.221 ton

9. Bangladesh : 24.640 ton

10. Thailand : 22.806 ton

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.