Sukses

Kereta Kencana Pernikahan Raja Charles III dan Putri Diana Tersangkut Isu Perbudakan

Kereta kencana pernikahan Raja Charles III dan Putri Diana adalah satu di antara 343 artefak yang diberi label terkait perbudakan.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah kereta kencana berusia tiga abad telah ditandai dalam ulasan Parlemen Inggris karena menampilkan seorang budak Romawi. The Speaker's State Coach, sebuah kereta emas berornamen yang terakhir digunakan pada pernikahan Charles dan Diana tahun 1981, merupakan satu di antara 343 artefak yang diberi label terkait perbudakan.

Melansir Daily Mail, Jumat (6/1/2023), ukiran seorang budak dari zaman kuno jadi alasan itu disebut "menggambarkan orang yang diperbudak." Komite Penasihat untuk Karya Seni lintas partai di Inggris sekarang sedang mempertimbangkan apakah pelabelan koleksi atau cara penyajiannya yang harus diubah.

Tapi Tories, partai konservatif di Inggris, telah menyuarakan peringatan pada proyek "menggelikan" itu, dengan alasan perbudakan dapat dikaitkan pada hampir setiap elemen masyarakat Barat. Deskripsi resmi di situs web koleksi Parlemen mengatakan bahwa kereta kencana itu dibuat untuk William III sekitar 1698.

Ini termasuk ikonografi tentang Revolusi Agung 1688 yang menegaskan supremasi Parlemen. Kereta kencana itu diperkirakan telah diberikan pada Pembicara Commons oleh Ratu Anne pada awal abad ke-18, dan menyandang lambang pemegang jabatan itu secara berturut-turut.

Kereta kencana ini digunakan untuk acara seremonial selama berabad-abad, dengan yang terakhir adalah pernikahan Charles dan Diana pada 1981, seperti telah disinggung. Barang dimaksud sekarang dipajang di National Trust Carriage Museum di Arlington Court.

Pemeriksaan koleksi yang sedang berlangsung di Westminster telah mengidentifikasi 68 politisi yang memiliki hubungan dengan "perdagangan yang memuakkan." Ini termasuk tokoh terkemuka seperti Robert Peel, Robert Walpole, William Gladstone, dan Edmund Burke.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Peninjauan Karya Seni

Peninjauan karya seni oleh Parlemen terhadap sekitar sembilan ribu artefak diluncurkan pada pertengahan 2020. Ini berlangsung di tengah gelombang protes anti-rasisme di seluruh dunia yang menyebabkan patung Edward Colston dirobohkan di Bristol.

Parlemen mengatakan saat itu, "Merespons gerakan Black Lives Matter, Koleksi Seni Parlemen sedang ditinjau untuk mengidentifikasi penggambaran individu dan kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan budak Inggris dan praktik kerja paksa orang Afrika yang diperbudak dan orang lain di koloni Inggris dan seterusnya."

Sejumlah penghargaan tokoh politik dan karya seni terkait perbudakan dipublikasi pada September 2020 dalam batch awal. Keputusan itu sempat memicu kemarahan pada "wokeisme."

Pada tahap itu, ada 24 orang dan 189 item dalam daftar yang tercatat terkait dengan perdagangan budak. Namun, pembaruan lebih lanjut hingga Maret tahun lalu hampir melipatgandakan angka yang disebutkan jadi 68, dengan 343 buah item yang tercakup.

Saat itu, referensi pada gerakan Black Lives Matter telah dihapus dari daftar yang diperbarui.

3 dari 4 halaman

Versi Pembaharuan

Alih-alih, versi pembaruan itu menyebut, "Sama dengan pendekatan yang diambil sejumlah museum, galeri seni, dan koleksi besar lain, tujuannya adalah mempertimbangkan pendekatan saat ini untuk mengelola koleksi dan bagaimana memperluas keragaman dan inklusi."

Seorang juru bicara Komite Penasihat tentang Karya Seni Inggris mengatakan, "Dokumen yang telah diterbitkan sebagai bagian dari tinjauan Komite telah dikembangkan melalui penelitian akademis yang ketat."

"Tujuan dari daftar, yang masih terus ditinjau, adalah memastikan keakuratan dalam koleksi Parlemen dan untuk mencatat item yang berhubungan dengan perdagangan budak transatlantik, termasuk karya yang menggambarkan orang-orang yang memiliki kepentingan keuangan atau hubungan keluarga dengan perdagangan budak dan perbudakan transatlantik, serta karya seni yang menampilkan para abolisionis," imbuhnya.

Ia juga berkata, "Pada penempatan karya seni Parlemen jangka panjang, tidak ada rencana untuk menghapus karya seni tertentu dari tampilan. Daftar karya seni ini tidak lengkap dan diperbarui dua kali setahun seiring hasil penelitian."

 

4 dari 4 halaman

Tindakan terhadap Karya Seni

Tentang apakah karya seni akan dipindahkan atau diberi label berbeda, juru bicara itu mengatakan, "Parlemen sedang menjajaki cara-cara di mana kami dapat mengembangkan standar dan kerangka kerja yang ditingkatkan untuk pengelolaan koleksi kami."

"Ini termasuk bagaimana item dalam koleksi dijelaskan pada pengunjung, staf, dan anggota (parlemen)," ia menyambung. "Pekerjaan masih dalam tahap awal, dan Parlemen akan terlibat dengan anggota, staf dan pengunjung, serta berbagai mitra eksternal untuk memastikan beragam pandangan didengar selama proses perkembangan."

Sebagaimana telah disinggung, tidak hanya Inggris yang berinisiasi demikian. Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan terkait "penyesalan" perbudakan telah diperlihatkan berbagai pihak di sejumlah negara, termasuk Museum Afrika Belgia.

Pada 2021, pihaknya memulai proses pengembalian karya seni curian ke Republik Demokratik Kongo. Dari akhir abad ke-19 hingga 1960-an, ribuan karya seni, termasuk patung kayu, topeng gading gajah, manuskrip, dan alat musik telah diambil kolektor, ilmuwan, penjelajah, serta tentara Belgia, lapor SCMP.

Setelah merombak Museum Afrika senilai 66 juta euro (sekitar Rp1,1 triliun) untuk melihat lebih kritis masa lalu kolonial Belgia, pemerintah negara itu mengaku siap memenuhi seruan restitusi. "Pendekatannya sangat sederhana: segala sesuatu yang diperoleh melalui cara tidak sah, pencurian, kekerasan, penjarahan, harus dikembalikan," kata Menteri Junior Belgia, Thomas Dermine. "Itu bukan milik kami."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.