Sukses

Iklan Rabbani Dianggap Langgengkan Tradisi Menyalahkan Korban Pelecehan Seksual, Tak Sengaja atau Gimmick Marketing?

Dalam kampanyenya yang menyingung pelecehan seksual, brand hijab Rabbani menyebut wanita yang berpakaian terbuka itu bodoh.

Liputan6.com, Jakarta - Brand hijab Rabbani diterpa gelombang kritik publik. Ini merujuk pada kampanye terbaru yang dirilis jenama tersebut seputar topik kasus pelecehan seksual.

Di unggahan reels Instagram, baru-baru ini, pihaknya menulis, "Akhir-Akhir ini sedang ramai berita tentang pelecehan seksual seolah sudah menjadi pemandangan biasa. Namun, apakah ada hubunganya pakaian dengan pelecehan seksual?"

Narasi dari klip tersebut berbunyi, "Ketika perempuan berpakaian serba minim, jika terjadi pelecehan, siapakah yang salah? Jika dilihat dari sudut pandang wanita, posisi wanita tidak salah, karena setiap wanita berhak menggunakan pakaian apapun. Jadi, laki-lakinya aja tuh yang mesum jika melihat wanita berpakaian minim."

"Namun, jika dilihat dari sudut pandang pria, wanita yang berpakaian terbuka itu bodoh. Ibarat tidak ada asap, tidak ada api. Wanita yang berpakaian terbuka akan mengundang pria punya niat dan berpikiran jorok. Tidak berlaku untuk sebaliknya," sambung mereka.

"Karena itu, wanita sehendaknya menggunakan pakaian tertutup yang tidak memberikan kesempatan untuk seorang pria punya niat dan berpikiran jorok. Bagi pria, seharusnya menjaga dan meminimalisir pandangan dari hal-hal yang mengundang syahwat. Jadi menurut rabbaners, apakah pria yang salah atau wanitanya yang bodoh?" tandasnya.

Keterangan ini pun diamuk massal oleh penghuni jagat maya. Salah satunya menulis, "Postingan ini adalah contoh kontribusi dalam pemakluman victim blaming. Mengapa begitu? Karena memposisikan bahwa korban mengalami kekerasan seksual karena pakaiannya. Padahal, apapun pakaiannya, tindakan kekerasan seksual TIDAK BISA DIBENARKAN atas alasan apapun."

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kritik Warganet

Si warganet menyambung, "Kekerasan seksual adalah kesalahan pelaku dan terjadi karena ada manusia yang secara sadar melakukan kekerasan pada manusia lain. Sungguh tidak elok rasanya, menjual barang di atas penderitaan korban kekerasan dengan membuat postingan victim blaming seperti ini."

"Apakah orang yang tidak menggunakan pakaian panjang dan berhijab kemudian menjadi boleh dan pantas mendapatkan kekerasan seksual? Bagaimana dengan perempuan dari agama lain? Yuk bisa yuk membuat postingan berjualan yang etis dan tidak menormalisasi tindakan kekerasan bentuk apapun."

"Cari dan pelajari info lebih lanjut dengan tagar #GerakBersama di media sosial. Kalaupun belum bisa membantu korban kekerasan (seksual), selemah-lemahnya iman, mari pastikan kita tidak menyalahkan korban," tandasnya.

Yang lain berkomentar, "Kalau dari sudut pandang saya yang orang komunikasi dan advertising, yang bikin konten ini BODOH. Karena alih-alih memberikan informasi seputar pelecehan seksual yang faktual (data banyak kok yang bisa kalian akses. Jangan malas), malah ngalor ngidul bahas siapa yang salah."

"Kalau anak bayi umur tujuh minggu diperkosa sampai meninggal, yang salah siapa? Anak bayi yang pake diapers jadi paha ke mana-mana? Nggak paham lagi sama konten-konten kaya gini. Pembodohan publik," imbuhnya.

3 dari 4 halaman

Tanggapan Rabbani

Terkait kritik yang tengah digulirkan publik, Head Marcomm Rabbani, Wahid Arbi Sasmito, mengatakan melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis (29/12/2022), bahwa pihaknya belum bisa memberi tanggapan. "Kami bukan tidak ingin menanggapi. Kami sedang persiapan event, jadi semua lagi fokus ke sana," ia berkata.

Sebagaimana telah disinggung, edukasi terkait kasus pelecehan seksual lebih gencar dilakukan berbagai pihak dalam beberapa tahun terakhir. Tahun lalu, misalnya, lewat kampanye Semua Peduli Semua Terlindungi Sahkan RUU PKS, The Body Shop Indonesia menciptakan ruang virtual untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu kekerasan seksual.

"Ruang virtual ini dibuat karena melihat respons baik masyarakat terhadap kampanye Shoes Art Installation di gedung Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang berlangsung 26 November hingga 10 Desember 2020, dalam rangka peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan," kata Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya, dalam jumpa pers virtual, tahun lalu.

Shoes Art Installation merupakan konsep seni instalasi yang menggunakan sepatu sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi dan dukungan bagi penyintas kekerasan seksual. Ada lebih dari 500 pasang sepatu yang dipamerkan, yang didapat dari pelanggan, karyawan, dan kolega The Body Shop Indonesia.

Selain sepatu, dipamerkan juga beragam jenis baju penyintas pemerkosaan dan pelecehan seksual untuk menunjukkan bahwa tidak benar pakaian adalah pemicu tindak kekerasan seksual.

 

4 dari 4 halaman

Setop Menyalahkan Korban

Membantu korban kekerasan seksual bisa mulai dengan berhenti menyalahkan mereka. Setidaknya itu menurut konselor Akara Perempuan, sebuah lembaga pendampingan bagi perempuan korban kekerasan, Siti Hajar Rahmawati.

"Selain itu, kita juga bisa cek dan tanya kabar secara berkala. Itu salah satu yang penting," katanya dalam virtual media briefing bertema "Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan," 28 Oktober 2022.

Kemudian, ajak korban untuk mencari bantuan. Siti mengatakan, bantuan berupa pendampingan membuat korban kekerasan seksual bisa lebih stabil secara psikologi. Pendampingan ini bahkan membuat korban "lebih nyaman" saat ingin melaporkan kekerasan yang dialaminya pada pihak berwajib.

"Jadi kalau bisa, sebelum lapor polisi, ada baiknya (korban kekerasan seksual) minta bantuan pada lembaga pendampingan maupun LBH (Lembaga Bantuan Hukum)," ia menuturkan.

Namun, dalam praktiknya tentu tidak semudah itu. Wakil Sekjen Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI), dr. Baety Adhayati, SpFM(K), mengatakan bahwa ada beberapa sebab korban kekerasan seksual takut melapor, bahkan menceritakan kekerasan yang mereka alami pada orang lain.

"Pertama, ada ancaman. Lalu, pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban. Ada juga relasi kuasa," tuturnya. "Kemudian, ada stigma yang berkembang bahwa korban kekerasan seksual sudah tidak perawan, dan masa depannya hancur."

Selanjutnya, dr. Baety menyebut adanya hambatan psikologi, seperti takut, malu, dan adanya rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri atas apa yang dialami. "Di beberapa kasus, korban malah sampai hamil, dan karena itu mereka jadi malu," imbuhnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.