Sukses

Mahasiswi Malaysia Menolak Jadi Sasaran Pemeriksaan Waktu Menstruasi

Jika menolak pemeriksaan waktu menstruasi, mahasiswi-mahasiswi ini mengaku akan diminta menjalankan salat.

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah universitas di Setapak, Malaysia, diduga melakukan "pemeriksaan waktu menstruasi" pada mahasiswinya. Berdasarkan kicauan akun @tashny, awal pekan ini, ia menerima pesan pelapor dari seseorang yang mengaku mahasiswi ERT Vocational College.

Bio Twitter akun tersebut menyatakan ia adalah seorang analis senior di sebuah think-tank Malaysia yang peduli dengan isu-isu seperti hukum hak asasi manusia, gender, dan migrasi. Ia mengklaim bahwa pada 18 Oktober, sekitar pukul 19.50, pelapor bersama sekitar 30 wanita muda lain berusia 18 hingga 19 tahun, "diikat" dan diberi cotton buds untuk "membuktikan mereka sedang menstruasi."

Namun, belum jelas siapa yang memberi instruksi melakukan pemeriksaan langsung. Di utas Twitter, pemilik akun tersebut menulis bahwa informannya mengatakan beberapa mahasiswi telah "menolak" untuk diperiksa karena tidak nyaman menjalani proses tersebut.

Mahasiswa yang menolak instruksi itu dikatakan disuruh salat jika tidak nyaman diperiksa. Berdasarkan hukum Islam, wanita yang sedang datang bulan dibolehkan untuk tidak salat.

Pelapor lebih lanjut mengklaim bahwa kampusnya telah melakukan pemeriksaan mendadak ini untuk "waktu yang lama." Namun, proses tersebut dihentikan setelah masalah ini menyita perhatian pada awal tahun ini, sebelum memulainya lagi.

Pelaporan insiden "pemeriksaan waktu menstruasi" kembali menarik perhatian Menteri Pendidikan Malaysia Radzi Jidin. Ia mengaku telah berkunjung ke kampus tersebut untuk "mendapatkan informasi lebih lanjut" terkait dugaan yang dimaksud.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Dorong Gerakan Penolakan

Dalam kicauan pada Rabu, 27 Oktober 2021, Radzi mengatakan, pihaknya "menganggap masalah ini serius." Ia menambahkan bahwa kementerian "berkomitmen untuk mengakhiri praktik semacam itu."

Radzi juga menulis bahwa ia telah mendengar penjelasan dari para pengajar dan rekor. Pihaknya juga mendengarkan tanggapan dari mahasiswa tentang dugaan praktik pemeriksaan waktu menstruasi.

Radzi mengatakan, kementerian "berkomitmen menyediakan asrama dan lingkungan kampus yang aman dan kondusif." Desakan serupa juga disuarakan sejumlah warganet, yang salah satunya menyebut, "praktik ini membuat para perempuan muda sebagai objek."

Mothership melaporkan bahwa praktik ini tidak hanya terjadi di kampus, namun juga sekolah-sekolah. Terkait ini, petugas Perlindungan Anak dari UNICEF Malaysia Amalina Annuar menyebut pemeriksaan waktu menstruasi melanggar hak anak dan dapat meninggalkan dampak negatif jangka panjang pada kesejahteraan emosional anak.

Masalah ini juga mendorong desainer grafis politik kontroversial Malaysia, Fahmi Reza, menyerukan penghentian pemeriksaan berkala di sekolah-sekolah. Lewat akun Twitter-nya, ia mengunggah poster untuk menolak praktik tersebut.

3 dari 4 halaman

Bukan Kali Pertama

Awal April lalu, isu pemeriksaan waktu menstruasi menarik perhatian karena beberapa wanita berbagi pengalaman mereka secara online. Malaysiakini melaporkan wanita harus menunjukkan "pembalut mereka yang berlumuran darah, melakukan swab vagina dengan cotton buds, tisu, atau jari mereka."

"Atau meminta guru, sipir, maupun kepala sekolah menepuk-nepuk selangkangan untuk merasakan apakah mereka memakai pembalut" guna membuktikan mereka sedang menstruasi. Laporan tersebut menambahkan, sebagian besar gadis mengatakan mereka berasal dari pesantren, sekolah negeri, dan sekolah swasta Islam.

Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (Suhakam) menggambarkan praktik tersebut sebagai pelanggaran hak anak dan dapat membawa unsur pelecehan atau pelecehan seksual, yang mungkin bertentangan dengan hukum, New Straits Times melaporkan.

Pada Juni, Radzi mengatakan, kementerian sedang dalam proses akhir untuk membentuk komite baru guna melihat praktik tersebut. "Akan ada prosedur yang lebih komprehensif dalam konteks ini untuk memungkinkan kami jika keluhan seperti itu muncul di masa depan, mengatasinya dengan cara yang lebih terencana," katanya.

4 dari 4 halaman

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.