Sukses

Pernah Ikut Makan Bancakan? Ini Filosofinya

Jika dalam budaya modern dikenal acara tiup lilin saat ulang tahun, maka masyarakat tradisional mengenal tradisi makan bancakan.

Liputan6.com, Jakarta Dalam budaya modern, kita mengenal acara tiup lilin dan potong kue saat perayaan ulang tahun. Namun jauh sebelum budaya modern tersebut ada, nenek moyang kita telah mengenalkan tradisi bancakan. Bancakan adalah acara makan bersama dalam satu wadah. Tradisi bancakan ini masih sangat populer di kampung-kampung, utamanya di Jawa.

Bancakan merupakan bagian dari selamatan atau syukuran yang biasanya diadakan sebagai bentuk rasa syukur untuk memperingati kelahiran atau weton anak. Weton adalah gabungan hitungan hari di kalender Masehi dengan hitungan hari di sistem penanggalan Jawa yang terdiri dari lima hari dalam setiap siklus, yaitu Wage, Legi, Pon, Pahing, dan Kliwon.

Keluarga atau orang tua yang hendak mengadakan selamatan memasak nasi, lauk-pauk, dan sayuran dalam porsi besar untuk acara ini. Bumbu yang biasanya ada dalam menu bancakan adalah urapan. Urapan dibuat dari sayuran rebus dicampur dengan parutan kelapa muda yang diberi bumbu yang terdiri dari cabe, lengkuas, bawang merah, bawang putih, daun jeruk purut, gula, dan ditambah garam secukupnya. Jika biasanya bumbu urapan dimasak dengan cara dikukus, ada cara memasak urapan yang lebih khas lagi.Parutan kelapa yang sudah tercampur dengan bumbu diulet bersama kreweng (kepingan genteng) yang dibakar sampai membara sampai tercium bau sedap. Sementara lauk yang biasa hadir di menu bancakan adalah telur rebus.

Nasi, lauk, dan bumbu disajikan di atas nampan besar atau tampah. Anak-anak dan para tetangga diundang untuk ikut makan bersama dalam satu nampan besar tersebut. Sebelum makanan tersebut disajikan, ada sesepuh yang membacakan doa dengan tujuan demi keselamatan si anak. Selain dimakan bersama, makanan bancakan tersebut juga dibagikan pada tetangga dekat dan kerabat dekatnya.

Tradisi bancakan mempunyai filosofi yang sudah mengakar dalam masyarakat. Saat makan bersama dalam satu nampan, setiap orang duduk rendah mengelilingi nampan. Tidak ada perbedaan apakah anak tersebut anaknya orang kaya atau miskin, apakah orang tua atau muda. Semua dianggap sama statusnya. Juga tidak ada rasa jijik saat menyantap makanan bersama, malah mengikuti bancakan merupakan kegiatan yang menarik minat banyak anak-anak dan mampu membangkitkan selera makan mereka.

Budaya ini juga mencerminkan semangat gotong-royong dan kerukunan dalam bermasyarakat. Setiap yang hadir dan ikut bancakan turut mendoakan anak yang baru lahir atau yang diperingati hari wetonnya. Anak yang dibuatkan bancakan diharapkan hidupnya selalu dilimpahi kebaikan, sehat, berkah, dan bermanfaat bagi sesama.

Setelah tahu tahu filosofi di balik tradisi bancakan, selayaknya kita melestarikan budaya yang sudah turun temurun diwariskan dari nenek moyang ini kan? (Ana fauziyah)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.