Sukses

Bolehkah Menjual Daging Kurban, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Hukum menjual daging kurban menurut ulama dan perbedaan hak antara orang kaya dan miskin atas daging tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Hari Raya Idul Adha atau lebaran haji jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Pada hari itu umat muslim juga melaksanakan ibadah qurban sesuai dengan perintah Allah untuk berqurban dalam QS. Al-Kausar ayat 2,

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

Artinya: "Maka laksanakanlah sholat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah)".

Peristiwa tersebut berkaitan dengan kisah Nabi Ibrahim yang mengurbankan putranya, Nabi Ismail sebagai wujud kepatuhannya kepada Allah SWT. Akan tetapi, Allah SWT mengganti Nabi Ismail dengan seekor domba. 

Hukum menyembelih hewan qurban adalah sunnah begitu juga membagikan dan mengkonsumsikannya. Namun, di kalangan masyarakat ada beberapa orang yang menjual daging qurban, baik dari yang berqurban maupun panitia yang mengurus hewan qurban.

Lantas, bagaimanakah hukum menjual daging kurban tersebut? Berikut ulasan selengkapnya mengutip dari laman NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 4 halaman

Hukum Menjual Daging Kurban Menurut Mazhab Syafi'i

Dilansir dari NU Online, pada dasarnya ibadah kurban dianjurkan kepada orang yang mampu melaksanakannya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan yakni fakir dan orang-orang yang sengsara. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam firman Allah swt dalam surah al-Hajj ayat 28:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ 

Artinya: "Maka makanlah sebagaian darinya (hewan kurban) dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan oleh orang-orang yang sengsara dan fakir" (QS. Al-Hajj: 28).

Dari ayat ini kemudian para ulama terutama mazhab Syafi’iyah membuat rambu-rambu bahwa seorang yang berkurban (selain kurban nadzar) dianjurkan untuk memakan sebagian daging kurban yang telah disembelih sekadarnya saja, dan yang lain dibagikan kepada yang membutuhkan.

Di samping itu orang yang berkurban tidak diperkenankan untuk menjual daging maupun kulit hewan yang disembelihnya meskipun untuk biaya penyembelihan (ongkos tukang jagal dan sebagainya). 

Mengingat panitia kurban yang dibentuk selama ini merupakan kepanjangan tangan dari pihak yang berkurban (wakil), maka hukum yang sama juga diberlakukan kepadanya, artinya daging kurban boleh dipergunakan untuk makan siang dan panitia tidak diperbolehkan menjual daging sembelihan meskipun hanya untuk membeli bumbu. 

Oleh karena itu, guna menyiasati masalah seperti ini, banyak kepanitian yang membuat kebijakan untuk menerima hewan kurban disertai biaya yang dibebankan kepada orang yang berkurban mulai dari perawatan serta biaya-biaya operasinal lainnya.

Hal ini guna menghindari terjadinya penjualan daging kurban serta pembagian daging yang lebih meluas. Inisiatif seperti ini tentu dibenarkan dalam kacamata fiqih madzhab Syafi’i. 

3 dari 4 halaman

Pandangan Mazhab Hanafi

Solusi yang lain adalah di antara panitia, selain ada yang menjadi wakil, disiapkan pula panitia yang menyediakan dirinya untuk menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima) daging kurban agar ia mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkannya. Ia boleh memasaknya dan juga boleh menjualnya. 

Alternatif berikutnya adalah dengan mengikuti mazhab Hanafi yang memperbolehkan penjualan daging kurban oleh pelakunya (orang yang berkurban) sesuai dengan manfaat yang diperlukan baik dalam penyelenggaraan penyembelihan maupun pembagiannya kepada masyarakat.

Hal ini merujuk dalam kitab Kifayatul Ahyar karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini: 

 ...وَعند أبي حنيفَة رَحمَه الله أَنه يجوز بَيْعه وَيتَصَدَّق بِثمنِهِ 

Artinya: Dan ketahuilah bahwa fungsi hewan kurban adalah untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu tidak diperbolehkan menjualnya, tidak diperbolehkan pula menjual kulitnya dan juga tidak boleh menjadikan hasil penjualan untuk upah tukang jagal meskipun kurban sunnat (bukan kurban nadzar) dan seterusnya… Menurut Abi Hanifah, menjual daging kurban dan menyedekahkan uang hasil penjualannya hukumnya boleh.

4 dari 4 halaman

Perbedaan Hak Orang Kaya dan Miskin atas Daging Kurban

Jika mengikuti mazhab Hanafi di atas, maka menjual daging kurban jelas mubah. Akan tetapi Syekh Sa‘id bin Muhammad Ba‘asyin dalam karyanya Busyral Karim Bisyarhi Masa’ilit Ta‘lim mengatakan: 

وتردد البلقيني في الشحم، وقياس ذلك أنه لا يجزئ كما في التحفة، وللفقير التصرف فيه ببيع وغيره أي لمسلم، بخلاف الغني إذا أرسل إليه شيء أو أعطيه، فإنما يتصرف فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة، لأن غايته أنه كالمضحي   

Artinya: Al-Bulqini sanksi perihal lemak hewan kurban. Berdasar pada qiyas, tidak cukup membagikan paket kurban berupa lemak seperti keterangan di kitab Tuhfah. Sementara orang dengan kategori faqir boleh mendayagunakan daging kurban seperti menjualnya atau transaksi selain jual-beli kepada orang muslim. Berbeda dengan orang kaya yang menerima daging kurban. Ia boleh mendayagunakan daging itu hanya untuk dikonsumsi, disedekahkan kembali, atau menjamu tamunya. Karena kedudukan tertinggi dari orang kaya sejajar dengan orang yang berkurban.

Kategori kaya kasarannya ialah mereka yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyembelih hewan kurban saat hari raya Id. Ketentuan ini merupakan anjuran bagi orang kaya untuk berkurban selagi tidak ada halangan. Sementara si fakir tidak perlu bimbang untuk menjual daging yang sudah menjadi haknya kepada orang lain bila kondisi menuntut. Dijual mentah boleh, dijual matang tidak masalah.

Seperti telah disampaikan di atas, kami menyarankan, panitia kurban menyiapkan biaya khusus yang dibebankan kepada orang yang berkurban atau keluarganya untuk biaya perawatan serta biaya-biaya operasinal lainnya. Itu pun jika diperlukan biaya, agar tidak perlu menjual daging kurban.