Sukses

Menengok Gua Masigit Sela di Nusakambangan, Masjid 'Wingit' di Dalam Batu yang Diziarahi Bung Karno

Gua Masigit Sela, masjid terbuat dari batu di Nusakambangan. Banyak yang berziarah ke gua yang dianggap keramat ini, terutama pada hari-hari besar, termasuk menjelang Ramadhan

Liputan6.com, Cilacap - Menjelang Ramadhan, umat Islam di berbagai daerah di Indonesia melakukan ritual ziarah. Bahkan, sejumlah kelompok yang terkait erat dengan masa keislaman awal di Nusantara memiliki acara besar tahunan di bulan Sya'ban, yakni Sadranan.

Contohnya, pada akhir bulan Sadran (penyebutan Sya'ban dalam kebudayaan Jawa Islam), kelompok Anak Putu Banokeling menggelar ritual punggahan. Ritual punggahan adalah ziarah ke makam leluhur, dalam hal ini Penambahan Banokeling, di Pekuncen, Banyumas.

Punggahan dapat diartikan pula sebagai persiapan menyambut Ramadhan, dengan sejumlah prosesi adat di dalamnya. Ritual ziarah ini terkait erat dengan budaya Jawa kuno yang ternyata juga diatur dalam Islam.

Terkait hal itu, di kawasan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah ternyata ada lokasi ziarah yang juga banyak dikunjungi masyarakat. Tempat sakral tersebut yakni Gua Masigit Sela, yang diartikan secara sederhana sebagai masjid di dalam batu.

Gua ini merupakan tempat untuk beribadah dan tirakat peninggalan masa Mataram Islam. Karena nilai sejarah dan 'wingit'nya, konon Presiden Pertama RI Soekarno alias Bung Karno pernah berziarah ke tempat ini.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Destinasi Wisata Religi

Melansir situs wisata Pemkab Cilacap, Gua Masigit Sela merupakan wisata alam gua yang merupakan salah satu situs atau lokasi napak tilas dari perjuangan kerajaan mataram melawan penjajah Belanda.

Gua ini terletak di kawasan Kampung Laut, Nusakambangan. Tepatnya, berada di sisi bagian barat Nusakambangan yang lebih dikenal sebagai pulau penjara dan berdekatan dengan Klaces, Kampung Laut.

Goa ini terletak di pulau Nusakambangan bagian barat, sisi utara yang berdekatan dengan kecamatan Kampung Laut

Disebut Masigit Sela karena kata tersebut sebenarnya mengandung arti masjid yang terbuat dari batu. Masigit berarti masjid dan sela yang berarti batu.

Di gua ini juga terdapat kubah yang menyerupai kubah masjid. Hingga saat ini gua yang memiliki tiang batu ini digunakan sebagai wisata religi atau ziarah.

"Terdapat stalagtit dan stalagmit yang membentuk objek-objek menyerupai beberapa benda. Di antaranya menyerupai Gong," demikian, melansir wisata.cilacapkab.go.id, Kamis (7/3/2024).

Diketahui, Kampung Laut sendiri adalah sebuah kecamatan yang memang dekat dengan Pulau Nusakambangan dan terkenal dengan Laguna Segara Anakan dan mangrovenya.

Kendati masih banyak orang Cilacap yang belum mengetahuinya, namun para peziarahnya malah banyak yang dari luar daerah, dari Ciamis, Pangandaran Jawa Barat misalnya. Apalagi jika kliwonan, seperti pada Selasa dan Jumat Kliwon.

"Ada juga yang datang dengan berziarah hanya untuk ngalap berkah, yakni dengan berdo’a, berdzikir dan melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an," dikutip dari laman kampunglaut.cilacapkab.go.id.

Konon, gua ini dikunjungi oleh banyak artis-artis indonesia, selain itu juga dikunjungi oleh Presiden Soekarno. 

 

3 dari 5 halaman

Kisah Penjaga Gua

Melansir Antara, jika seseorang yang sedang di dalam gua cukup lapang dengan puluhan stalaktit dan sejumlah ceruk gelap yang disebut oleh sesepuh dan juga penunggu gua, Turmudi (83), sebagai kamar itu kemudian bulu kuduk berdiri dan perasaan merinding muncul, kiranya hal tersebut lumrah saja.

"Ya begitu," katanya seolah membenarkan suasana dirasakan pengunjung, khususnya yang baru pertama kali berada di dalam gua itu.

Suasana di dalam gua memang gelap karena tanpa lampu penerang. Cahaya yang masuk hanya dari mulut gua yang terletak di Dusun Mangunjaya, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap.

Di bagian agak tengah gua, terdapat stalaktit yang telah menjuntai hingga menyentuh lantai gua, dikenal sebagai soko guru, dengan bekas dupa yang dibakar peziarah dan beberapa lembar daun pisang.

Seorang pemandu dari desa tetangga, di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Narsid (52), mencoba memperagakan kepada seorang tamunya pada Rabu (2/9) siang itu, bagaimana memeluk soko guru di dalam gua tersebut, yang dipercaya bisa mendatangkan keberuntungan.

Ia juga bercerita tentang pengalaman pribadi pada 2003, sebelum melakukan kebiasaannya menangkap burung di kawasan Segara Anakan tersebut. Saat berdiri di mulut gua itu, tiba-tiba seekor burung cukup besar terbang menerpa wajahnya. Tak sempat, Narsid mengetahui jenis burung tersebut karena secepat kilat ke luar dari gua.

Dalam perburuannya secara manual pada hari itu juga, laki-laki yang sejak beberapa tahun terakhir bekerja sebagai pegawai SMA Negeri 1 Kampung Laut, mendapatkan 15 ekor burung, yakni "murai batu", "cecak ijo", "larwo", sedangkan dalam perburuan hari-hari biasanya, ia hanya mendapat tiga hingga lima ekor.

Tiba-tiba ia meminta tamunya berhenti bicara supaya bisa mencermati suara-suara di langit-langit gua. Cahaya senter pun diarahkan ke langit-langit, dan ternyata suara itu berasal dari seekor kelelawar cukup besar yang berkelebat-kelebat.

4 dari 5 halaman

Diresmikan Paku Buwono X

Di tempat transit peziarah Gua Masigit Sela yang berupa rumah panggung terbuat dari kayu seluas 70 meter persegi, Turmudi bercerita panjang lebar tentang ihwal objek wisata ziarah yang disebutnya diresmikan oleh Paku Buwono X, Raja Mataram berkedudukan di Keraton Surakarta.

Prasasti dari marmer bertuliskan huruf Jawa cukup panjang dalam beberapa baris, terpasang di dinding mulut gua. Turmudi terkesan mencoba mengeja tulisan dalam prasasti tersebut, meskipun tak rampung. Hanya nama Raja Mataram itu yang secara jelas dapat terbaca karena ditulis dalam aksara latin.

Nama "Masigit Sela" untuk gua itu yang dalam bahasa lokal berarti masjid di dalam batu, dikatakannya telah kondang hingga berbagai daerah di Indonesia karena kabar yang menyebar secara "gethok tular" atau dari mulut ke mulut, sejak masa lampau.

Untuk mencapai lokasi itu, pengunjung bisa berangkat menggunakan perahu tradisional, "compreng", bermesin tempel dengan kapasitas sekitar 20 orang, dari Pelabuhan Seleko Cilacap menuju dermaga kecil di depan Kantor Kecamatan Kampung Laut di kawasan Segara Anakan. Waktu tempuh dari pelabuhan rakyat di Cilacap hingga dermaga di Kampung Laut itu, selama sekitar dua jam.

Dari kantor kecamatan setempat, wisatawan ziarah bisa memanfaatkan jasa ojek warga setempat untuk menuju Gua Masigit Sela yang berjarak sekitar tiga kilometer dengan kondisi jalan sudah berpaving.

Selain Turmudi yang berstatus sebagai penjaga gua, ada sejumlah petugas lain dari warga setempat yang disebut sebagai juru kunci, yakni Juldik, Tatak, Tateng, Surya, Odin, Sugeng, Suryo, Surip, Pujono, dan Darmono.

Para peziarah wajib menulis nama dan alamat di buku yang telah disiapkan petugas di loket dan membayar retribusi desa Rp10.000 per orang. Hasil penarikan retribusi masuk Gua Masigit Sela setiap tahun sedikitnya mencapai Rp12.000.000.

Uang yang terkumpul tersebut selain sebagai pemasukan pemerintah desa, juga untuk biaya upacara tradisi warga setempat merayakan tahun baru Jawa, "Sura", yang berupa sedekah bumi dan laut di desa setempat.

"Biasanya setiap tahun, desa menyelenggarakan pergelaran wayang kulit dengan biaya yang terkumpul dari para peziarah gua ini," katanya dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan.

Mereka yang datang untuk berziarah dan berdoa di Gua Masigit Sela berasal dari berbagai daerah di Indonesia, terutama kota-kota di Jawa. Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, jumlah peziarah mencapai 15 orang, sedangkan setiap hari selama Sura, gua tersebut dipadati pengunjung.

"Kalau yang dari berbagai daerah datang ke sini, umumnya orang Jawa yang merantau. Ada banyak juga yang datang berziarah dari Tasikmalaya, Karawang, Indramayu, Bekasi, Banten. Ada juga dari Manado, Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Madura, Palembang, Jambi, Lampung, Papua, Bali, dan Yogyakarta," katanya.

 

5 dari 5 halaman

Ketentuan untuk Peziarah

Bung Karno (Presiden pertama RI Soekarno), katanya, juga pernah datang ke gua itu, yakni sebelum Indonesia merdeka. Sejumlah tokoh nasional lainnya saat ini, juga disebut Turmudi secara diam-diam atau tanpa diketahui banyak orang, berziarah pula ke tempat tersebut.

"Banyak artis juga datang ke sini," kata Turmudi yang juga mantan pejuang pada masa perang kemerdekaan RI di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dengan bergabung dalam pasukan yang disebutnya sebagai "Kompi Pujadi".

Umumnya, para peziarah berdoa di Gua Masigit Sela untuk memperoleh keselamatan, kelancaran menjalankan usahanya, kemudahan mendapatkan rezeki melalui jalan yang benar, dan tergapai cita-citanya.

"Hati harus mantap, jujur, percaya diri kalau berdoa dan berziarah ke gua ini, dari lubuk hati paling dalam. Insya Allah, Allah 'ngijabahi' (merestui, red.)," katanya.

Mereka membaca zikir dengan khusyuk dan melakukan shalat di dalam gua sebagai jalan peziarahannya.

Pengelola objek wisata ziarah juga telah menempatkan papan pengumuman tentang ketentuan berziarah yang harus ditaati dengan saksama oleh pengunjung, antara lain tetap melestarikan keutuhan batuan gua.

Selain itu, peziarah juga wajib menjaga ketenangan dan memperhatikan masalah kebersihan gua, mereka dilarang makan dan merokok di dalam gua, penggunaan senter seperlunya, mematikan lilin pada pukul 22.00 WIB, dan kewajiban membaca ayat-ayat Al Quran.

Barisan terakhir kalimat di papan pengumuman tentang tata tertib masuk Gua Masigit Sela tertulis, "Selamat Berdoa, Smoga Sukses".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.