Sukses

Gempa Cianjur hingga Jember, Benarkah Bencana Alam Teguran dan Azab Tuhan?

Liputan6.com, Banyumas - Secara berurutan, bencana alam berupa gempa bumi dan letusan gunung berapi melanda sejumlah daerah di Indonesia. Dimulai dari gempa Cianjur, Garut, erupsi Gunung Semeru, dan baru saja terjadi, gempa cukup besar di Jember, Jawa Timur.

Bagi ilmuwan, gempa bumi adalah fenomena alam yang lumrah. Sebab, Indonesia berada di wilayah yang memang rawan gempa, tsunami dan letusan gunung berapi.

Berada di jalur cincin api pasifik, Indonesia memiliki puluhan gunung berapi. Beberapa di antaranya sangat aktif. Misalnya, Gunung Merapi atau Sinabung, yang kerap erupsi.

Meski dinilai sebagai fenomena alam biasa, namun, ada pula sebagian kelompok masyarakat yang menghubungkan gempa bumi sebagai teguran dan azab. Dalam perspektif ini, bencana yang terjadi adalah hukuman dari Allah SWT untuk kaum yang dilaknat.

Di kalangan yang netral, bencana alam disebut sebagai musibah. Musibah bisa menimpa siapa saja, baik pendosa maupun umat Islam yang taat.

Musibah bisa juga menjadi pensuci, atau pembersih dari segala dosa. Bahkan, orang yang meninggal dalam bencana alam mendapat derajat mati syahid.

Tentu cara pandang ini tak mudah untuk dipertemukan. Artikel yang ditulis oleh Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember, dengan judul 'Bolehkah Menghubungkan Gempa Bumi dengan Teguran Tuhan?' di NU Online membeberkan pendapat-pendapat berbeda saoal bencana alam ini.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bencana Alam Perspektif Ilmiah dan Teologis

Maraknya gempa akhir-akhir ini membuat respons masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa gempa ini adalah fenomena alam biasa tanpa perlu disangkut pautkan dengan ajaran agama atau teguran dari Tuhan.

Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa gempa adalah tindakan Tuhan untuk menghukum manusia yang lalai dari ajarannya. Tampaknya sulit bagi kedua kelompok ini bertemu dalam satu titik sepakat sebab perbedaan paradigma yang saling bertolak belakang. Namun, sebenarnya hal ini dapat digabungkan menjadi suatu pemahaman yang komprehensif

Dari segi ilmiah, Indonesia adalah wilayah rawan gempa sebab beberapa faktor; Keberadaannya di wilayah Cincin Api Pasifik membuat negara ini menjadi ladang gempa bumi. Bukan hanya itu, Sabuk Alpide yang melewati Indonesia juga menyumbang potensi gempa.

Tak ketinggalan, posisi Indonesia juga berada tepat di tengah tumbukan lempeng tiga benua, yaitu Pasifik di arah timur, Indo-Australia di arah selatan dan Eurasia di utara. Satu faktor saja sudah cukup untuk menjadikan suatu kawasan sebagai wilayah rawan gempa, dan kebetulan Indonesia memiliki tiga faktor sekaligus.

Bila melihat fakta ilmiah ini, terlihat bahwa gempa bumi di Indonesia adalah hal wajar dan sama sekali tak berhubungan dengan kejadian apa pun yang dilakukan manusia. Namun kesimpulannya akan berbeda bila kita melihat dari sudut pandang teologis. Dari sudut pandang ini, peristiwa yang dialami manusia seluruhnya adalah bagian dari kehendak Allah yang sudah tercatat seluruhnya di Lauh Mahfudz. Allah berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِي ٱلْأَرْضِ وَلَا فِيْ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22).

Dalam hal ini, gempa bumi tak mempunyai status khusus yang berbeda dengan seluruh kejadian lainnya. Tak ada bedanya antara gempa bumi dan tersandung, jatuh, pegal-pegal, tertusuk duri dan seterusnya. Semuanya terjadi atas izin Allah (qadar) dan sudah tercatat proses kejadiannya sejak sebelum alam semesta tercipta (qadla’).

Ini adalah konteks teologis murni yang letaknya ada dalam hati sebagai bagian dari keimanan seorang Muslim. Pertanyaan selanjutnya, apakah ada keterkaitan antara gempa bumi dengan ulah manusia (maksiat)?

Dari sisi teologis, jawabannya bisa saja demikian sebab banyak sekali ayat atau hadits yang memberitakan bahwa kejadian-kejadian yang menimpa manusia bisa diakibatkan sebab ulah buruk manusia itu sendiri.

Allah mengingatkan hambanya dengan banyak cara, salah satunya adalah gempa bumi ini. Lihat misalnya kisah kaum Nabi Luth yang membangkang hingga mendapat bencana alam hebat sebagaimana digambarkan dalam ayat berikut:

فَلَمَّا جَآءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةًۭ مِّن سِجِّيلٍۢ مَّنضُودٍۢ

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud: 82).

Di beberapa ayat lainnya, Allah juga memerintahkan kita untuk memperhatikan kaum-kaum terdahulu yang berakhir tragis sebab tidak mematuhi ajaran Tuhan. Lihat misalnya:

قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌۭ فَسِيرُوا۟ فِي ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ

"Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. Ali Imran: 137)

3 dari 3 halaman

Bencana Bukan Azab

Namun, apakah setiap bencana gempa bumi atau bencana alam lainnya bisa ditafsirkan sebagai teguran Tuhan?

Jawabannya dengan tegas adalah tidak!, sama sekali tidak!.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dari aspek teologis tak ada kekhususan dalam hal bencana alam dari kejadian apapun. Bila bicara soal teguran Tuhan, maka teks-teks agama Islam menegaskan bahwa semua hal bisa menjadi bentuk teguran Tuhan.

Sakit, rezeki yang sulit, gagal panen, kematian, dan segala ketidaknyamanan bisa menjadi bentuk teguran Tuhan agar seorang hamba kembali mengingat-Nya. Rasa berat dan enggan untuk beribadah juga bentuk teguran yang paling nyata.

Selain itu, ada juga teguran yang tampak sebagai kenikmatan, misalnya: Kekayaan, kesuksesan dan umur panjang yang disertai meningkatnya jumlah maksiat. Ini semua adalah teguran paling parah yang diberikan Allah kepada hambanya yang sudah terkunci mata hatinya.

Dalam istilah Islam, teguran semacam ini disebut sebagai istidrâj dan ini banyak disinggung dalam Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan kesuksesan orang-orang kafir dan orang-orang dhalim di dunia dan bahwa hukuman bagi mereka ditangguhkan hingga mereka mati.

Jadi, jangan gegabah memvonis bahwa korban gempa bumi adalah orang-orang yang mendapat teguran (azab) dari Allah. Vonis semacam ini dilarang sebab hanya Allah yang tahu rahasia di balik setiap kejadian. Dulu kita bisa tahu bahwa suatu bencana merupakan teguran Tuhan terhadap suatu kaum sebab ada seorang Nabi yang menjelaskannya.

Namun di era ketiadaan Nabi seperti sekarang, kita hanya bisa berprasangka (dhann) dan Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa kebanyakan prasangka itu adalah dosa (QS. Al-Hujurat: 12). Justru dalam hadits dijelaskan bahwa orang yang tertimba reruntuhan dan tenggelam adalah orang yang mendapat pahala syahid. Nabi Muhammad ﷺBersabda:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ: الْمَطْعُوْنُ وَالْمَبْطُوْنُ وَالْغَرِقُ وَصاَحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيْدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Para syahid itu ada lima, yaitu orang yang mati karena wabah pes (tha’un), orang yang mati karena penyakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang meninggal karena tertimpa reruntuhan, dan orang yang gugur di jalan Allah.” (HR. Bukhari-Muslim).

Sikap kita terhadap sebuah musibah harus dipilah menjadi dua; sikap terhadap diri sendiri dan sikap terhadap orang lain. Ketika diri kita sendiri mendapat musibah, apa pun itu mulai yang ringan hingga berat, maka seyogianya kita introspeksi jangan-jangan itu adalah teguran Tuhan kepada kita sehingga kita bisa berubah menjadi lebih baik dan bersemangat dalam beribadah.

Namun ketika orang lain yang mendapatkan musibah, apa pun itu, maka kita harus melihatnya sebagai fenomena alami (sunnatullah) yang terjadi sebab faktor-faktor natural tanpa membumbuinya dengan aneka prasangka yang menyakitkan bagi korban atau keluarganya, apalagi bila yang terkena musibah bukanlah pelaku maksiat, seperti kebanyakan kasus gempa di Indonesia selama ini.

Dalam hal gempa di Indonesia, kita harus melihat faktor alami penyebab gempa itu apa dan bagaimana cara meminialisasi risiko di masa depan dengan cara-cara yang ilmiah seperti membuat bangunan tahan gempa, penataan pemukiman dan lain sebagainya. Kita juga harus membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah dengan cara apa pun yang kita bisa, minimal mendoakan kebaikan.

Jangan sampai ada yang gegabah menghubungkan suatu musibah sebagai azab, sebab bisa saja para korban itu mendapat pahala syahid dan justru penonton yang tak tertimpa musibah itulah yang terkena azab Allah berupa istidrâj yang harus dibayar mahal kelak di akhirat. Wallahua'lam. (Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.

Tim Rembulan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.