Sukses

Hukum Pengancaman dan Pemerasan, Begini Cara Melaporkannya

Pengancaman dan pemerasan merupakan bentuk tindak pidana yang secara tradisional terjadi dalam konteks fisik, namun dengan adanya teknologi, kedua tindakan ini telah beralih ke dunia maya.

Liputan6.com, Jakarta Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, masyarakat turut mengalami transformasi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal perilaku. Sayangnya, tidak semua dampak dari perkembangan teknologi bersifat positif. Salah satu dampak negatif yang muncul adalah meningkatnya potensi terjadinya tindak pidana berbasis online, seperti pengancaman dan pemerasan.

Pengancaman dan pemerasan merupakan bentuk tindak pidana yang secara tradisional terjadi dalam konteks fisik, namun dengan adanya teknologi, kedua tindakan ini telah beralih ke dunia maya. Ancaman dapat tersebar dengan cepat melalui media sosial, email, atau pesan instan, menciptakan tantangan baru bagi penegak hukum.

Pemerasan, yang seringkali dilakukan dengan cara mengancam untuk membocorkan informasi pribadi atau merusak reputasi seseorang, telah menjadi ancaman serius dalam lingkup digital. Fenomena ini mengeksplorasi kerentanan individu terhadap penyebaran informasi yang bersifat pribadi atau merugikan, membuka celah bagi penjahat daring untuk memperoleh keuntungan atau kepuasan pribadi. 

Berikut ulasan lebih lanjut tentang tindak pidana pengancaman dan pemerasan dalam hukum positif Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Kamis (18/1/2024).

2 dari 4 halaman

Pengancaman dan Pemerasan dalam KUHP

Tindak pidana pengancaman dan pemerasan merupakan dua aspek serius yang diatur dalam hukum Indonesia, khususnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 

Pemerasan diatur dalam Pasal 482 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 2023). Pasal ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dapat dipidana karena pemerasan. Sanksi hukum yang dapat dikenakan adalah pidana penjara paling lama 9 tahun. Pemerasan melibatkan tindakan memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang atau melakukan tindakan tertentu.

Pasal 482 UU No. 1 Tahun 2023 menyatakan bahwa pelaku pemerasan dapat dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun. Ini mencakup orang yang memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mendapatkan barang atau mendorong orang untuk memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang. Jika ditemukan bersalah, pelaku pemerasan akan menghadapi konsekuensi hukum yang serius.

Pengancaman, yang juga merupakan tindak pidana serius, diatur dalam Pasal 483 UU No. 1 Tahun 2023. Pasal ini menyatakan bahwa setiap orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dapat dipidana karena pengancaman. Ancaman ini dapat berupa ancaman pencemaran, baik lisan maupun tertulis, atau ancaman membuka rahasia. Sanksi hukum yang dapat dikenakan adalah pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta).

Pelaku pengancaman, menurut Pasal 483 UU No. 1 Tahun 2023, dapat menghadapi pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta). Ancaman ini dapat melibatkan pemaksaan dengan ancaman pencemaran, pencemaran tertulis, atau ancaman membuka rahasia untuk mendapatkan barang atau mendorong orang untuk memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

3 dari 4 halaman

Pengancaman dan Pemerasan dalam UU ITE

Dilansir dari laman bullyid.org indak pidana pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui sarana atau media daring diatur secara khusus oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Regulasi ini menekankan perlindungan terhadap individu dari ancaman kekerasan dan pemerasan yang dapat terjadi dalam lingkup media informasi elektronik atau dokumen elektronik. Dalam mengatasi tindak pidana tersebut, UU ITE telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Pasal 29 UU ITE: Pengancaman Secara Elektronik

Pasal 29 UU ITE menjelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi dapat dikenakan sanksi. Ancaman tersebut dapat berupa pesan, surat elektronik, gambar, suara, video, tulisan, dan bentuk informasi elektronik lainnya. Penting dicatat bahwa ancaman ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk dan merupakan tindak pidana yang serius.

Pasal 45B UU No.19/2016: Sanksi Pidana Pengancaman Elektronik

Pelaku yang melanggar Pasal 29 UU ITE dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00. Sanksi ini menunjukkan keseriusan hukum terhadap tindak pidana pengancaman melalui media elektronik. Pemberian sanksi ini sejalan dengan tujuan perlindungan terhadap korban dari dampak psikologis dan emosional yang mungkin ditimbulkan oleh pengancaman tersebut.

Pasal 27 ayat (4) UU ITE: Pemerasan Melalui Media Elektronik

Pasal 27 ayat (4) UU ITE lebih lanjut mengatur mengenai tindakan mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Ini menekankan bahwa tidak hanya pengancaman, tetapi juga pemerasan melalui media elektronik dapat dikenai sanksi hukum.

Pasal 45 ayat (4) UU No.19/2016: Sanksi Pidana Pemerasan Elektronik

Pelaku pemerasan melalui media elektronik, sesuai dengan Pasal 27 ayat (4) UU ITE, dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00. Sanksi ini memberikan tekanan hukum yang serius untuk mencegah dan menindak tindak pidana pemerasan dalam ranah online.

Dalam pedoman implementasi Pasal tertentu dalam UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 29, dijelaskan bahwa bentuk perbuatan pengancaman melibatkan ancaman kekerasan dan bahwa Pasal 29 UU ITE termasuk delik umum, memudahkan korban atau saksi dalam melaporkan tindak pidana tersebut.

Dengan adanya regulasi ini, diharapkan masyarakat dapat merasa lebih aman dan dilindungi di ruang digital, sementara pelaku tindak pidana pengancaman dan pemerasan akan dihadapkan pada sanksi yang tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

4 dari 4 halaman

Cara Melaporkan Pelaku Pengancaman dan Pemerasan Secara Langsung

Mengetahui aturan hukum dan sanksi terkait pelaku pemerasan dan pengancaman adalah langkah awal yang penting. Namun, tak kalah pentingnya adalah mengetahui cara melaporkan pelaku tindak pidana tersebut agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. 

Perlu diingat bahwa tindak pengancaman dan pemerasan hanya dapat dilaporkan oleh korban seperti yang diatur dalam Pasal 483 Ayat (2) KUHP. Berikut cara melaporkan pelaku pemerasan dan pengancaman.

1. Datang ke Kantor Polisi Terdekat

Langkah pertama adalah mendatangi kantor polisi terdekat setelah mengalami atau menyaksikan tindak pidana pemerasan atau pengancaman. Korban dapat langsung memberikan laporan kepada petugas berwenang.

Bagian SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) merupakan tempat yang dapat dikunjungi untuk melaporkan tindak pidana. Petugas di sana akan menerima laporan atau pengaduan dan melakukan proses penyelidikan lebih lanjut. Penting diingat bahwa melaporkan ke polisi adalah layanan gratis.

3. Membuat Laporan Kejadian dengan Jelas dan Tepat

Membuat laporan kejadian dengan detail, mencakup waktu, kronologi, dan tempat kejadian, membantu pihak kepolisian dalam proses penyelidikan. Informasi yang jelas dapat menjadi dasar yang kuat untuk pengungkapan kasus.

4. Membawa Bukti yang Kuat

Penting untuk membawa bukti yang kuat sebagai pendukung laporan. Ini bisa mencakup bukti fisik seperti foto atau video, bukti visum, dan bukti elektronik seperti tangkapan layar percakapan terkait pemerasan atau pengancaman.

5. Sertakan Saksi 

Mengajak saksi yang mengetahui kejadian untuk mendukung laporan sangat dianjurkan. Saksi dapat memberikan keterangan yang memperkuat bukti dan membantu kepolisian dalam penyelidikan.

6. Pastikan Mendapat Surat Bukti Laporan

Setelah melaporkan kejadian, pastikan untuk meminta Surat Bukti Laporan dari penyelidik atau penyidik. Surat ini akan menjadi dasar bahwa laporan sudah diterima dan akan diproses.

Cara Melaporkan Pelaku Pengancaman dan Pemerasan Secara Online

Lapor Via Layanan Call Centre Polri 110

Korban dapat menghubungi layanan call centre Polri di nomor 110 secara gratis. Melalui panggilan ini, laporan dan pengaduan terkait pemerasan dan pengancaman dapat disampaikan dengan mudah.

Lapor Secara Online

Era digital memudahkan masyarakat untuk melaporkan tindak pidana secara online. Layanan ini dapat diakses melalui akun media sosial unit kepolisian atau situs resmi Polri. Melalui laporan online, masyarakat dapat menyampaikan keluhan mereka dengan lebih cepat dan efisien.