Sukses

Hadis Ahad Adalah Jumlah Perawi Terbatas, Pahami Contoh dan 3 Macamnya

Hadis ahad kedudukannya di bawah hadis mutawatir.

Liputan6.com, Jakarta - Hadis ahad adalah salah satu klasifikasi hadis dalam ilmu hadis Islam. Dalam terminologi hadis, hadis ahad merujuk pada hadis tunggal yang memiliki jumlah perawi yang terbatas, tidak melebihi tiga orang. Hadis ahad kedudukannya di bawah hadis mutawatir. Ini karena hadis mutawatir memiliki jumlah perawi yang besar dan kepastian asal-usulnya dari Rasulullah SAW.

Keterbatasan jumlah perawi dalam hadis ahad menciptakan kebutuhan untuk melakukan penelitian yang cermat terhadap kredibilitas dan validitasnya sebagai sumber ajaran Islam. Proses penelitian ini membantu dalam menilai keabsahan hadis ahad, apakah dapat diterima (maqbul) atau ditolak (mardud), sehingga memengaruhi penggunaannya dalam praktik keagamaan.

Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam pendalian hadis ahad dan pernyatan terkait hadis Ahad tidak boleh dijadikan sandaran dalam urusan aqidah karena tidak bersifat qat'iyyah al thubut, dijelaskan dalam jurnal penelitian berjudul Hadith Ahad and Its Argumentation In The Problem of Faith in The Perspective of Muhammad Al-Ghazali (2022) oleh Amalia Rabiatul Adwiah.

Berikut Liputan6.com ulas lebih mendalam tentang hadis ahad, kehujjahan hadis ahad, dan macam-macam hadis ahad, Rabu (29/11/2023).

2 dari 3 halaman

Jumlah Perawi Terbatas

Ahad, dalam bahasa Arab artinya satu atau tunggal. Lalu, apa sebenarnya hadis ahad itu? Secara umum, kedudukan hadis ahad, sebagai sumber ajaran Islam, posisinya berada dibawah kedudukan daripada hadis yang sudah mutawatir.

Dalam buku berjudul Memahami Ilmu Hadist karya Asep Hardi, hadis ahad adalah hadis tunggal yang diterima. Menurut para ulama, hadis ahad memiliki ciri khusus, yaitu jumlah perawinya yang sedikit, tidak melebihi tiga orang. Keterbatasan jumlah perawi ini menempatkan hadis ahad pada level yang berbeda dalam hierarki kedudukan hadis atau kehujjahannya.

Keberadaan hadis ahad menuntut sebuah penelitian mendalam untuk menentukan statusnya, apakah maqbul (diterima) atau mardud (ditolak). Penelitian terhadap hadis ini penting guna memahami validitasnya sebagai sumber ajaran dalam Islam.

Jika melalui proses penelitian yang cermat, hadis ahad menurut Asep dapat diterima, ini karena hadis tersebut berarti memiliki keabsahan untuk dijadikan pedoman dalam praktik keagamaan. Sebaliknya, jika setelah penelitian, hadis tersebut dinilai tidak memenuhi kriteria kevalidan, maka akan dikategorikan sebagai mardud, atau ditolak sebagai landasan ajaran.

Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) memberikan perspektif serupa mengenai definisi hadis ahad. Dijelaskan bahwa hadis ahad memiliki ciri khas jumlah perawinya tidak mencapai jumlah mutawatir, atau terkadang hanya mendekati jumlah mutawatir. Macam-macam hadis ahad, yakni ada hadis Masyhur, Azis, dan Gharib.

Melansir dari Universitas Islam An-Nur Lampung, kepastian sumber hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya dari Rasulullah SAW, hal ini tidak berlaku pada hadis ahad. Hadis ahad tidak dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, melainkan cenderung bersifat dugaan (zhanni dan mazhnun) mengenai asal-usulnya dari beliau.

Hadis-hadis dalam kategori ahad, dengan jumlah perawi yang terbatas, menciptakan ketidakpastian terkait kebenaran langsung dari sumbernya. Maka dari itu, memerlukan penelitian mendalam untuk menilai validitasnya sebagai sumber ajaran Islam dan pedoman.

 

 

3 dari 3 halaman

1. Hadis Masyhur

Dalam buku berjudul Pengantar Studi Ilmu Hadits karya Syaikh Manna Al-Qaththan, ada tiga macam-macam hadis ahad yang perlu dipahami.

Ada Hadis Masyhur, yang secara perawian diikuti oleh tiga perawi atau lebih pada setiap tingkatannya. Hadis Masyhur juga dikenal dengan nama Al Mustafidh. Kategori ini terbagi menjadi beberapa macam lagi, yakni yang memiliki satu sanad, beberapa sanad, serta yang tidak memiliki sanad sama sekali.

Sebagai contoh, terdapat hadis Masyhur yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menggambarkan pentingnya ilmu. Hadis ini menyatakan bahwa Allah tidak akan mengambil ilmu langsung dari seorang hamba, melainkan dengan mengambil para ulama. Ketika tidak ada ulama, orang awam akan menjadi pemimpin dan memberikan fatwa tanpa dasar ilmu, yang mengakibatkan kesesatan.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba, akan tetapi melepaskan ilmu dengan mengambil para ulama. Sehingga apabila sudah tidak ada seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu, mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Hadis Azis

Ada kategori Hadis Aziz, yang secara etimologis berarti gagah dan kuat. Dalam istilah ilmu hadis, Hadis Aziz sebagai hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan dengan dua sanad. Contohnya adalah hadis yang menyatakan bahwa seseorang tidak benar-benar beriman hingga Rasulullah lebih dicintai darinya daripada keluarganya. Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalan Anas, dan juga diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah.

"Tidak (sesungguhnya) beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah aku (Rasulullah) lebih tercinta kepadanya daripada ia (mencintai) bapakya dan anaknya serta semua orang."

3. Hadis Gharib

Sementara itu, Hadis Gharib menurut bahasa artinya jauh dari kerabat atau asing. Secara istilah, Hadis Gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu perawi. Namun, dalam situasi ketika suatu hadis diriwayatkan oleh seorang sahabat Nabi, dan kemudian tingkatan berikutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, hadis tersebut tetap dikategorikan sebagai Hadis Gharib.

Beberapa ulama juga menyebut jenis hadis ini dengan nama Al-fard. Klasifikasi ini membantu dalam memahami kedalaman serta berbagai tingkatan dan karakteristik hadis ahad dalam tradisi hadis Islam.

Â