Sukses

Haiti Terjerumus Anarki, di Mana PM Ariel Henry?

Ariel Henry, yang mengambil alih kekuasaan setelah pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada tahun 2021, seolah menghilang sejak pecahnya kekerasan terbaru dan paling serius di negara itu pekan lalu.

Liputan6.com, Port-au-Prince - Pertanyaan besar yang mengemuka di tengah kondisi Haiti yang dalam anarki adalah: di mana perdana menterinya?

Ariel Henry, yang mengambil alih kekuasaan setelah pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada tahun 2021, seolah menghilang sejak pecahnya kekerasan terbaru dan paling serius di negara itu pekan lalu. Dia tetap bungkam saat menjelajahi dunia, dari Amerika Selatan hingga Afrika, tanpa tanggal kepulangan yang diumumkan.

Sementara itu, geng-geng kriminal bersenjata memanfaatkan kekosongan kekuasaan dengan berulah di dalam negeri. Mereka membobol dua penjara hingga memicu pelarian massal narapidana dan baku tembak dengan polisi di bandara internasional utama Haiti pada Senin (4/3/2024).

Bahkan dekrit, yang menyatakan keadaan darurat dan berlakunya jam malam, untuk memulihkan ketertiban ditandatangani oleh menteri keuangan, yang menjabat sebagai perdana menteri selama Henry melawat ke sejumlah negara.

"Ini tanda tanya besar," ujar Jake Johnston, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan yang berbasis di Washington, seperti dilansir AP, Rabu (6/3). "Fakta bahwa dia bahkan belum bersuara sejak kekerasan dimulai telah memicu segala macam spekulasi."

Pada Selasa (5/3) sore, misteri mulai terkuak perlahan setelah para pejabat mengatakan Henry mendarat di Puerto Rico. Dia disebut tiba di San Juan dengan penerbangan sewaan yang berangkat dari New Jersey. Data pelacakan menunjukkan penerbangan tersebut menuju Republik Dominika, yang berbagi Pulau Hispaniola dengan Haiti, namun berputar-putar di tengah penerbangan sebelum beralih ke Puerto Rico.

Beberapa jam sebelum tiba di Puerto Rico, pemerintah Dominika mengumumkan mereka segera menangguhkan semua lalu lintas udara dengan Haiti.

Sementara itu, Jimmy Cherizier, mantan perwira polisi elite yang memimpin federasi geng yang mengaku bertanggung jawab atas anarki di ibu kota Haiti, pada Selasa mengulangi tujuannya: menghalangi Henry kembali dan memaksanya mengundurkan diri.

"Tujuan kami adalah mendobrak sistem," tutur Cherizier, yang dikenal dengan julukan 'Barbecue' kepada wartawan dalam konferensi pers dadakan di sebuah daerah kumuh di Port-au-Prince.

Pemimpin geng itu dikelilingi oleh orang-orang berpenutup wajah yang membawa senapan serbu berat.

"Kami berjuang melawan Henry sampai titik darah penghabisan," ujarnya.

Geng-geng kriminal bersenjata melepaskan tembakan ke arah polisi pada Senin malam di luar Bandara Internasional Toussaint Louverture di Port-au-Prince, tempat Henry kemungkinan akan mendarat jika dia kembali.

Sebuah truk lapis baja dilaporkan terlihat di landasan menembaki geng-geng yang mencoba memasuki bandara, sementara sejumlah karyawan dan pekerja lainnya melarikan diri dari deru peluru. Bandara ditutup ketika serangan terjadi, tidak ada pesawat yang beroperasi, dan tidak ada penumpang di lokasi.

Bandara dilaporkan tetap tutup pada Selasa. Demikian pula dengan sekolah dan bank. Adapun transportasi umum terhenti.

"Haiti sekarang berada di bawah kendali geng-geng tersebut. Pemerintah tidak hadir," kata seorang warga bernama, Michel St-Louis (40), yang berdiri di depan kantor polisi yang terbakar di ibu kota.

"Saya berharap mereka dapat mengusir Henry, sehingga siapa pun yang mengambil alih kekuasaan dapat memulihkan ketertiban."

Meskipun masalah yang dihadapi Haiti semakin parah dan tidak dapat diselesaikan dengan cepat, Henry sendiri disebut semakin tidak populer.

"Ketidakmampuannya untuk memerintah secara efektif telah memicu seruan agar dia mundur, keyakinan yang juga dianut oleh geng-geng tersebut, meskipun hanya untuk memajukan kepentingan kriminal mereka sendiri," ungkap Johnston.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

AS Menolak Kirim Pasukan ke Haiti

Henry dikabarkan terakhir kali terlihat pada Jumat (1/3) di Kenya dalam misi mengamankan gagasan pengiriman pasukan keamanan multinasional yang dipimpin oleh Kenya di bawah naungan PBB ke negaranya. Dia meninggalkan Haiti lebih dari sepekan lalu untuk menghadiri pertemuan para pemimpin Karibia di Guyana, sementara di dalam negeri pengumuman penundaan pemilu yang telah berulang kali terjadi disampaikan.

Teranyar, pemungutan suara diundur hingga pertengahan tahun 2025. Pengumuman inilah yang dinilai telah memicu ledakan kekerasan terbaru, di mana Cherizier mengatakan dia akan menargetkan menteri-menteri pemerintah dalam upaya mencegah kembalinya Henry dan memaksa pengunduran dirinya.

Pasca-ancaman tersebut dalam beberapa hari berikutnya geng-geng melancarkan serangan terhadap bank sentral, bandara, bahkan stadion sepak bola nasional. Puncak dari serangan terkoordinasi ini terjadi pada akhir pekan ketika pembobolan Lembaga Pemasyarakatan Nasional dan sebuah penjara lainnya, membuat lebih dari 5.000 narapidana kabur. Banyak di antara tahanan tersebut menjalani hukuman karena pembunuhan, penculikan, dan kejahatan kekerasan lainnya.

Kantor perdana menteri tidak menanggapi permintaan komentar berulang kali, juga tidak mengatakan kapan Henry diperkirakan akan kembali.

Henry sendiri memosisikan dirinya sebagai tokoh transisi dan pembawa perdamaian yang mendapat dukungan dari pemerintah Amerika Serikat (AS) – yang merupakan sekutu asing dominan Haiti dan kunci bagi upaya stabilisasi.

Namun, dukungan pemerintahan Joe Biden belum menghasilkan popularitas di dalam negeri, di mana Henry dicerca. Sejak dia mengambil alih kekuasaan lebih dari dua tahun lalu, perekonomian anjlok, harga pangan meroket, dan kekerasan geng kriminal meningkat.

Tahun lalu, lebih dari 8.400 orang dilaporkan tewas, terluka atau diculik, lebih dari dua kali lipat jumlah yang dilaporkan pada tahun 2022. PBB memperkirakan hampir setengah dari 11 juta penduduk Haiti membutuhkan bantuan kemanusiaan, namun dari bantuan yang dianggarkan sebesar USD 674 juta, tahun ini Haiti baru menerima USD 17 juta atau sekitar 2,5 persen dari kebutuhan.

Selain itu, Henry dinilai tidak mampu mengajak aktor-aktor politik yang berbeda di Haiti untuk mencapai kesepakatan mengenai pemilu, yang belum pernah diselenggarakan sejak tahun 2015.

Meningkatnya kekerasan baru-baru ini telah memberikan tekanan baru pada AS dan negara-negara asing lainnya untuk segera mengerahkan pasukan keamanan guna mencegah pertumpahan darah lebih lanjut. Pemerintahan Biden telah menjanjikan pendanaan dan dukungan logistik untuk pasukan multinasional mana pun, namun dia tegas menolak mengerahkan pasukan AS.

3 dari 3 halaman

PBB: Harus Stop Dukung Henry

Juru bicara PBB Stephane Dujarric menjelaskan pasukan keamanan multinasional yang didukung Dewan Keamanan PBB tahun lalu akan melibatkan 1.000 personel yang sebagian besar adalah polisi Kenya, bukan pasukan penjaga perdamaian PBB yang berhelm biru.

"Meskipun pemilu tetap menjadi cara terbaik untuk menstabilkan negara setelah keamanan pulih, AS harus menghentikan dukungannya terhadap Henry agar intervensi berhasil," tutur Dujarric.

"Pemilu apa pun yang diselenggarakan oleh Henry tidak akan diterima oleh rakyat Haiti. Jika bukan karena dukungan kami, rakyat Haiti pasti sudah mengusir Henry sejak lama."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.