Sukses

Pejabat AS, Qatar, Israel dan Mesir Ngumpul di Paris Bahas soal Perang di Gaza

Lokasi pertemuan yang tepatnya berlangsung di Paris disebut membuat perunding Hamas tidak dapat hadir.

Liputan6.com, Paris - Para pejabat Amerika Serikat (AS), Mesir, Qatar, dan Israel bertemu di Paris, Prancis, untuk mengupayakan gencatan senjata di Jalur Gaza. Kantor perdana menteri (PM) Israel menyatakan pembicaraan bersifat konstruktif, namun masih terdapat kesenjangan yang signifikan.

"Masih ada kesenjangan signifikan yang akan terus dibahas pekan ini dalam pertemuan tambahan," sebut kantor PM Israel, seperti dilansir The Guardian, Senin (29/1/2024).

Sebelum negosiasi di Paris, AP melaporkan bahwa perunding AS termasuk Direktur CIA William Burns telah menyodorkan kerangka kerja perundingan yang berfokus pada jeda dua bulan perang Hamas Vs Israel.

AS dilaporkan telah mengusulkan gencatan senjata sementara selama 30 hari untuk memungkinkan pembebasan sandera perempuan, lanjut usia, dan yang terluka. Hal ini akan diikuti dengan jeda 30 hari berikutnya, di mana tentara Israel dan sandera laki-laki akan dibebaskan, bersamaan dengan peningkatan aliran bantuan yang diizinkan masuk ke Jalur Gaza.

Mereka berharap, penghentian pertempuran dapat memberikan peluang lebih lanjut untuk merundingkan gencatan senjata yang lebih tahan lama dan berjangka panjang.

Selama pembicaraan di Doha beberapa pekan terakhir, menurut sejumlah laporan, Hamas berulang kali menolak menerima kesepakatan apa pun yang tidak mencakup gencatan senjata permanen. Israel baru-baru ini menawarkan jeda dua bulan dalam pertempuran dengan imbalan sandera, namun tidak menjamin berakhirnya perang secara permanen.

Sebuah sumber yang mengetahui diskusi mengatakan usulan saat ini adalah menggunakan sistem gencatan senjata bertahap dan pembebasan sandera untuk membangun kepercayaan. Jika setiap tahap berhasil maka diyakini dapat menghasilkan akhir yang jelas dan permanen.

Lokasi pertemuan disebut membuat perunding Hamas tidak dapat hadir.

Meski demikian, kemajuan apa pun yang dicapai di Paris memerlukan sayap politik Hamas di Doha untuk meyakinkan para pemimpin sayap militernya plus pejabat tinggi politiknya di Jalur Gaza, Yahya Sinwar, agar menyetujui kesepakatan.

Para pejabat Hamas telah berulang kali menuntut gencatan senjata penuh dan pertukaran sandera Israel dengan ribuan tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Mesir: Israel Sodorkan Syarat Tidak Masuk Akal

Mesir sebelumnya mengusulkan kesepakatan ambisius untuk menghentikan pertempuran selama 10 hari dengan imbalan penarikan Israel dari Jalur Gaza, pembebasan sandera, dan keluarnya pemimpin Hamas dari Jalur Gaza. Usulan tersebut diyakini gagal, digantikan oleh perundingan skala kecil untuk mengizinkan obat-obatan penting bagi para sandera masuk ke Jalur Gaza dengan imbalan sedikit peningkatan bantuan bagi warga sipil Palestina.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Mesir Ahmed Abu Zeid mengatakan pekan lalu bahwa Mesir mendorong gencatan senjata tetapi Israel telah menerapkan kondisi yang tidak masuk akal yang menghalangi hal tersebut.

Sementara itu, otoritas kesehatan Gaza, menyatakan bahwa pengeboman Israel di Jalur Gaza dalam tiga bulan terakhir telah menewaskan lebih dari 26.422 orang.

Presiden AS Joe Biden dilaporkan telah mengirim Brett McGurk, utusannya untuk Timur Tengah, ke Kairo dan Doha pekan lalu dalam upaya memacu kemajuan lebih lanjut negosiasi pembebasan sandera. Biden berbicara pula dengan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani dan Presiden Mesir Abdel Fatah al-Sisi pada Jumat (26/1) malam untuk meningkatkan upaya menuju kesepakatan baru.

Gedung Putih dalam pernyataannya menyebutkan, Biden dan Sisi sepakat bahwa semua upaya sekarang harus dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang akan menghasilkan pembebasan semua sandera dan juga jeda kemanusiaan yang berkepanjangan dalam pertempuran.

Dalam percakapan telepon Biden dengan Thani, Gedung Putih mengungkapkan, kedua pemimpin menggarisbawahi betapa mendesaknya situasi ini dan menyambut kerja sama yang erat di antara tim mereka untuk memajukan diskusi.

Pertemuan di Prancis terjadi di tengah eskalasi ketegangan di Timur Tengah, meningkatkan tekanan terhadap Gedung Putih dan perunding lainnya untuk segera menemukan cara mengakhiri perang Hamas Vs Israel yang dikhawatirkan memicu konflik yang semakin luas.

3 dari 3 halaman

Tekanan terhadap Netanyahu Meningkat

Pembicaraan di Prancis juga digelar menyusul meningkatnya tekanan terhadap PM Benjamin Netanyahu untuk berbuat lebih banyak guna membebaskan sandera, setelah 20 kerabat para sandera menyerbu parlemen Israel pekan lalu. Di dalam negeri, sebagian berunjuk rasa menuntut pengunduran diri Netanyahu.

Dalam kasus berbeda, Netanyahu menuai kritik setelah audionya yang bocor mengungkapkan dia menyebut peran Qatar sebagai mediator "bermasalah". Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed al-Ansari mengatakan pihaknya terkejut dengan hal itu.

"Pernyataan tersebut jika divalidasi, tidak bertanggung jawab dan merusak upaya menyelamatkan nyawa tak berdosa, namun hal ini tidak mengejutkan," tutur Majed.

"Jika pernyataan seperti yang diberitakan itu benar Netanyahu hanya akan menghalangi dan melemahkan proses mediasi karena alasan yang tampaknya menguntungkan karier politiknya dibandingkan memprioritaskan penyelamatan nyawa tak berdosa, termasuk sandera Israel."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.