Sukses

Erdogan: Putin Ingin Perang Rusia vs. Ukraina Segera Selesai

Presiden Turki Erdogan blak-blakan soal perang Rusia-Ukraina.

Liputan6.com, New York - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan blak-blakan soal pandangannya soal invasi Rusia yang belum kunjung usai. Menurut Erdogan, Presiden Rusia Vladimir Putin ternyata ingin perangnya cepat selesai. 

Akan tetapi, pemimpin Turki itu tidak tahu kapan perang bisa selesai. 

"Hanya presiden Rusia dan Ukraina yang bisa menentukan kapan perang di Ukraina bisa selesai," ujar Presiden Erdogan dalam wawancara bersama PBS, seperti dilansir Anadolu Agency, Selasa (19/9/2023).

Presiden Erdogan mengunjungi AS pekan ini untuk menghadiri Sidang Majelis Umum PBB.

Selama perang berlangsung, Presiden Erdogan dapat menjaga hubungan negaranya dengan Ukraina dan Rusia yang notabene keduanya merupakan mitra dagang Turki. Erdogan juga sempat sukses berkolaborasi dengan PBB untuk membuat perjanjian Laut Hitam bersama Rusia-Ukraina agar pengiriman pangan dari Ukraina tetap aman, meski Rusia keluar dari perjanjian itu.

Presiden Erdogan berkata ia masih punya kepercayaan dengan Rusia, sebagaimana ia masih percaya dengan Barat. Akan tetapi, Presiden Erdogan sungkan untuk memberikan tanggal pasti kapan perang akan berakhir.

"Tidak mungkin saya memberikanmu kalender kapan perangnya berakhir atau berapa lama," ujar Presiden Erdogan.

Presiden Erdogan berharap bahwa agar perangnya cepat selesai, dan ternyata Presiden Putin juga ingin demikian.

"Mr. Putin faktanya ingin mengakhiri perang ini sesegera mungkin," ujarnya.

Di lain pihak, Ukraina juga berkata ingin perang berakhir namun dengan syarat bahwa Rusia angkat kaki dari tanah Ukraina. Rusia memang telah mencaplok empat wilayah timur Ukraina: Donetsk, Kherson, Luhansk, dan Zaporizhzhia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Sekjen NATO: Cara Termudah Akhiri Perang Ukraina Adalah Rusia Tarik Pasukannya

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg memperingatkan bahwa perang Ukraina bisa berlangsung lama. Pasalnya, serangan balasan Ukraina hanya menghasilkan sedikit kemajuan.

Sekutu Ukraina telah berusaha menonjolkan kemajuan serangan dalam beberapa pekan terakhir, namun fakta di lapangan tidak menunjukkan terobosan besar. 

"Perang berlangsung lebih lama dari perkiraan saat pertama kali dimulai. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan diri untuk perang jangka panjang di Ukraina," ujar Stoltenberg dalam wawancara dengan surat kabar Jerman Berliner Morgenpost, seperti dilansir CNN, Senin (18/9).

"Kita semua mengharapkan perdamaian secepatnya. Namun, pada saat yang sama kita harus menyadari: jika Presiden Volodymyr Zelensky dan rakyat Ukraina menyerah maka negara mereka tidak akan ada lagi. Jika Presiden Vladimir Putin dan Rusia meletakkan senjata mereka maka kita baru akan mencapai perdamaian."

Dia menambahkan, "Cara termudah untuk mengakhiri perang adalah jika Putin menarik pasukannya."

Mengenai kemungkinan Rusia menggunakan senjata nuklir di Ukraina, Stoltenberg mengatakan, "Retorika nuklir Putin berbahaya dan kejam, namun NATO siap menghadapi setiap ancaman dan tantangan."

"Tujuan NATO adalah mencegah perang – tidak terkecuali perang nuklir. Kami memiliki pencegahan yang kredibel."

 

3 dari 4 halaman

Hanya Masalah Waktu bagi Ukraina untuk Gabung NATO

Sekjen NATO menyatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan pesan yang jelas kepada Rusia.

"Perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh terjadi. Moskow harus memahami bahwa penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Kami mengamati dengan cermat apa yang dilakukan tentara Rusia. Hingga saat ini kami belum melihat adanya perubahan pada kekuatan nuklir Rusia yang dapat mendorong kami untuk bereaksi."

Ia juga menegaskan kembali bahwa hanya masalah waktu sebelum Ukraina bergabung dengan NATO.

"Ukraina akan menjadi anggota NATO – semua sekutu telah menyatakan hal ini dengan jelas," katanya, seraya menambahkan bahwa Ukraina akan membutuhkan jaminan keamanan ketika perang berakhir, jika tidak maka sejarah dapat terulang kembali.

Dalam perkembangan terpisah pada Jumat (15/9), pasukan Ukraina mengklaim bahwa mereka telah merebut kembali Desa Andriivka, di selatan Kota Bakhmut. Itu merupakan pengumuman pertama mengenai perebutan kembali pemukiman dalam beberapa minggu.

Waktu terus berjalan bagi Ukraina untuk memperoleh kemajuan yang signifikan, dengan musim gugur yang membawa cuaca yang lebih buruk dan kondisi pertempuran yang lebih menantang. 

4 dari 4 halaman

Majelis Umum PBB 2023: Xi Jinping hingga Putin Absen, Invasi Rusia ke Ukraina Kembali Jadi Fokus Utama

"Setetes demi setetes racun perang menginfeksi dunia kita," ungkap Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat membuka Majelis Umum PBB pada Senin (18/9).

Majelis Umum PBB 2023 digelar saat dunia dilanda perang Ukraina, lonjakan harga pangan, suhu yang mencatat rekor baru, bencana iklim, dan krisis migran yang jumlahnya belum pernah terjadi sebelumnya - agenda yang membuat pertemuan terdengar lebih menantang sekaligus mengkhawatirkan. 

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dilaporkan akan berbicara dalam Majelis Umum PBB pada Selasa (19/9). Dia menjadi satu-satunya pemimpin anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB yang hadir, selebihnya yakni Inggris, Prancis, Rusia, dan China, absen. Dengan kondisi tersebut, tidak sedikit yang mempertanyakan seberapa besar harapan yang dapat dicapai oleh PBB dengan kondisi yang demikian?

Dari 193 negara anggota PBB, 145 negara mengirimkan kepala negara atau pemerintahan mereka untuk menghadiri Majelis Umum PBB.

"Sementara Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak dan Presiden Prancis Emmanuel Macron punya alasan, yaitu Raja Charles III akan mengunjungi Prancis ... Saya rasa Majelis Umum PBB adalah kesempatan yang baik bagi Biden dan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken untuk berupaya memperkuat hubungan AS dengan para pemimpin non-Barat, mengingat Xi Jinping dan Vladimir Putin juga tidak hadir," ujar Direktur International Crisis Group PBB Richard Gowan, seperti dilansir CBS News, Selasa (19/9).

Banyak ahli meyakini bahwa persaingan antara AS dan China untuk mendapatkan sekutu di wilayah yang disebut sebagai "Global Selatan" atau "Global South" telah melemahkan kemampuan PBB untuk menyatukan berbagai pihak demi mencari solusi terhadap persoalan kolektif yang paling mendesak di dunia.

"Saya tidak melihat pekan depan sebagai kompetisi antara negara-negara besar. Tujuan kami adalah untuk mendukung negara-negara kecil – untuk memberi tahu mereka bahwa kami berkomitmen terhadap negara-negara tersebut seperti yang selalu kami lakukan," ujar Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.