Sukses

HEADLINE: Putin Tangguhkan Perjanjian Nuklir dengan AS Jelang Setahun Perang Rusia-Ukraina, Ancaman Serius?

Hampir genap setahun, serangan Rusia ke Ukraina belum usai. Bahkan Vladimir Putin justru menangguhkan partisipasi Rusia dalam perjanjian dengan Amerika yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir jarak jauh dan rudal.

Liputan6.com, Jakarta - "Saya telah membuat keputusan operasi militer khusus." Pernyataan yang mengejutkan dunia dari Presiden Rusia Vladimir Putin setahun lalu, 24 Februari 2022 menjelang pukul 06.00 pagi. Seketika itu, serangan rudal pun menghujam Ukraina.

Rudal-rudal Rusia itu menginvasi markas militer, bandara, hingga gudang senjata Ukraina. Rentetan tembakan juga terjadi di perbatasan kedua negara. 

Tanpa ampun, serangan yang digencarkan Rusia ke Ukraina dilakukan lewat darat, udara, dan laut. Invasi ini merupakan serangan terbesar sebuah negara terhadap negara lain di Eropa sejak Perang Dunia II.

Hampir genap setahun, serangan Rusia ke Ukraina belum usai. Bahkan dalam pidato kenegaraannya pada Selasa (21/2/2023), Putin justru menangguhkan partisipasi Rusia dalam Pakta New START, perjanjian antara Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang membatasi jumlah hulu ledak nuklir jarak jauh dan rudal, pengebom berbasis darat, serta kapal selam pembawa senjata nuklir, yang dapat mereka kerahkan.

Menurut Putin, AS dan NATO telah gagal dalam bekerja sama. "Saya harus mengumumkan bahwa Rusia menangguhkan partisipasinya dalam Pakta New START," ujar Putin seperti dikutip dari france24. "Tidak seorang pun boleh berada di bawah ilusi bahwa paritas strategis global dapat dilanggar."

Pakta New START ditandatangani pada 2010. Kemudian pada 2021, perjanjian tersebut diperpanjang selama lima tahun hingga 2026.

Meski begitu, Putin menggarisbawahi bahwa Rusia belum sepenuhnya menarik diri dari New START.

Dalam pidatonya juga, Putin mengklaim rakyat Ukraina telah menjadi sandera dari "tuan Barat", yang menduduki negara itu dalam hal politik, ekonomi, dan militer. Rezim Ukraina tidak melayani kepentingan nasional, melainkan kepentingan kekuatan asing.

Putin menilai Barat telah berusaha mengubah konflik Ukraina menjadi konfrontasi global dengan Rusia dan keberadaan Rusia dipertaruhkan. "Kami memahaminya seperti itu dan akan bereaksi dengan cara yang tepat," ungkap Putin di hadapan para anggota parlemen, pejabat, dan militer.

Beberapa jam setelah Putin berpidato di Moskow, Presiden AS Joe Biden memberikan semangat untuk melawan invasi Rusia di Ukraina. Dalam pidatonya di Warsawa, Polandia, Biden menyindir Rusia sedang berusaha membangun kembali kekaisarannya.

"Seorang diktator yang ingin membangun kembali kekaisaran tidak akan bisa menghapus kecintaan pada kemerdekaan. Brutalitas tidak akan mengurangi keinginan kebebasan. Dan Ukraina, tidak akan dimenangkan Rusia. Tidak akan pernah," ujar Biden.

Ia menegaskan bahwa dukungan ke Ukraina tidak akan luntur, serta NATO tidak akan terpecahkan. "Hawa nafsu Presiden Putin untuk tanah dan kekuasaan akan gagal. Dan kecintaan rakyat Ukraina untuk negaranya akan menang. Demokrasi-demokrasi dunia akan menjaga kemerdekaan hari ini, besok, dan selamanya."

Menurut Biden, Rusia telah menggunakan pemerkosaan sebagai senjata, hingga menculik anak-anak Ukraina agar mencuri masa depan negara tersebut. Infrastruktur sipil Ukraina pun menjadi target.

"Mengebom stasiun-stasiun kereta, rumah sakit bersalin, sekolah, dan panti asuhan. Tidak ada satu pun, tak ada yang bisa mengalihkan mata mereka dari kekejian yang Rusia lakukan terhadap rakyat Ukraina. Itu keji," tegas Biden.

Kabar baiknya, Joe Biden menyebut ada 50 persen wilayah Ukraina yang direbut Rusia, tetapi kini telah dikuasai Ukraina lagi. "Presiden Zelensky masih memimpin sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis yang mewakili keinginan rakyat Ukraina. Dan dunia telah memilih berkali-kali, termasuk di United Nations General Assembly, untuk mengecam agresi Rusia dan mendukung perdamaian yang adil."

Ancaman Perang Nuklir

Ditangguhkannya partisipasi Rusia telah menimbulkan kekhawatiran jika perang nuklir akan pecah. Anggota Komite Luar Negeri Parlemen Eropa, David McAllister menilai langkah Presiden Putin terkait START bisa membahayakan keamanan negara-negara dunia.

"Suspensi perjanjian nuklir, di sini reaksi di Uni Eropa sudah sangat jelas. Pengumuman ini akan melemahkan arsitektur keamanan Eropa, dan dunia pada umumnya, dan Uni Eropa terus menyerukan ke Kremlin agar memenuhi tanggung jawab internasionalnya," kata McAllister saat ditemui Liputan6.com di sela-sela kunjung ke Jakarta, Rabu (22/2/2023).

Ia mengaku tidak kaget dengan retorika Putin yang ingin menakut-menakuti lawannya. "Ia tidak akan sukses," ujar McAllister.

"Vladimir Putin adalah seorang diktator dan ia bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan perang yang mengerikan."

Vladimir Putin juga dianggap tak punya justifikasi dalam menyerang Ukraina, dan perang yang dilancarkan Rusia bersifat imperialistik.

Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken juga merespons langkah Putin yang menangguhkan perjanjian nuklir dengan AS. "Rusia menangguhkan partisipasinya di New START, sangat disayangkan dan tidak bertanggung jawab," kata Blinken dalam kunjungannya ke Athena.

"Kami akan mengawasi dengan cermat dan melihat apa yang sebenarnya dilakukan Rusia. Kami tentu saja akan memastikan tetap berada dalam posisi yang tepat untuk keamanan negara kami sendiri dan sekutu kami."

Sementara itu, dengan keputusan Putin menangguhkan perjanjiaan senjata nukllir dengan AS, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menilai negaranya siap dengan senjata nuklir apabila diserang. Medvedev kini menjabat sebagai deputi ketua di Majelis Keamanan Rusia menyebut akan ada konflik global jika ada yang ingin mengalahkan Rusia.

"Jika AS ingin mengalahkan Rusia, kami punya hak untuk melindungi diri kami dengan berbagai senjata, termasuk jenis nuklir," ujar Dmitry Medvedev pada Telegramnya, dikutip media pemerintah Rusia, TASS.

Medvedev mengungkap, keputusan itu diambil Putin karena merasa negara-negara NATO sedang berperang dengan Rusia. Ia juga mengkritik AS karena dianggap ikut campur urusan negara lain dengan mengirim bantuan senjata ke pemerintahan Ukraina.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Yang Perlu Dilakukan Indonesia

Pengamat Hubungan Internasional sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Nur Rachmat Yuliantoro menilai Indonesia sudah melakukan beragam proses diplomasi yang dibutuhkan guna membantu proses negosiasi untuk berakhirnya perang Rusia-Ukraina.

"Ini sudah sesuai dengan semangat konstitusi, khususnya kewajiban dan peran Indonesia untuk mengusahakan dan menjaga perdamaian dunia," kata Yuliantoro saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (22/2/2023).

"Proses diplomasi ini harus terus dilangsungkan melalui beragam forum, baik bilateral maupun multilateral," jelasnya.

Saat ditanya soal sikap apa yang harus ditunjukkan Indonesia terkait keberlanjutan perang namun tetap mengedepankan kepentingan nasional dalam hubungan bilateral, ia menegaskan bahwa tidak cukup bagi Indonesia untuk sekedar menyampaikan keprihatinan atau mengecam keberlanjutan perang.

"Tindakan nyata harus dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh Indonesia, khususnya dalam konteks diplomasi, dengan tidak lupa memastikan bahwa kepentingan nasional terjaga dengan semestinya di tengah2 berkecamuknya perang," ungkap Yuliantoro.

Menurutnya, Indonesia harus berpihak kepada perdamaian dan kemanusiaan. "Tidak ada yang diuntungkan dari perang, perang hanya akan membawa penderitaan dan kesengsaraan. Ini yang harus ditekankan kepada semua pihak yang terlibat, langsung maupun tidak langsung, agar perang bisa dihentikan."

Terpisah, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia Suzie Sudarman menilai perang Rusia-Ukraina telah menjadi pelajaran penting bagi banyak negara termasuk Indonesia. "Bagi dunia ini sebuah pelajaran, terutama bagi Indonesia," ujarnya kepada Liputan6.com.

Lewat perang ini, banyak negara harusnya memahami bahwa persaingan akan dipicu oleh penguasaan sumber daya alam utama baik pangan maupun energi dalam berbagai bentuk, makna strategis kawasan sebagai rute atau jalur strategis, dan sebagai kawasan proyeksi kekuatan.

Selain itu, terjadi pula perubahan besar dalam teknologi yang mencakup material canggih, dunia maya dan digital, robot sensorik, kuantum, hipersonik, dan teknologi otonom. Penguasaan teknologi ini akan memberikan keunggulan pada kecepatan, ketepatan, dan penguasaan serta pemanfaatan ruang angkasa yang merupakan unsur kunci kekuatan bangsa.

"Jadi banyak pelajaran yang harus disimak bagi negara-negara istimewa negara seperti Indonesia yang berada pada buffer zone seperti Ukraina dengan adidaya yang saling berhadapan," jelasnya. 

Suzie juga menyampaikan bahwa pandemi dan perang di Ukraina menekankan ketergantungan yang tak terhindarkan pada pentingnya rantai pasokan global dan sumber daya penting, terutama energi, mineral, dan makanan.

"Maka harus ada pemetaan sumber daya, distribusi, kebijakan dan peraturan yang ada di tingkat nasional dan internasional, serta perencanaan strategis untuk mengamankan sumber daya kritis," tambahnya. 

"Posisi geopolitik atau geostrategi sangat strategis, memiliki wilayah, kekayaan alam, dan penduduk yang besar. Indonesia harus menyiapkan beberapa hal. Sudah siapkah kita?" sambungnya. 

Ia menambahkan, semakin canggih peperangan di kawasan, sebuah negara semakin harus siap dengan pemetaan sumber daya, distribusi dan kebijakan di tataran nasional dan internasional. Maka dari itu, teramat penting untuk merancang pengamanan terhadap sumber daya yang kritis.

"Apakah pernah terlintas kebutuhan pemerintah akan ahli strategi yang mahir memetakan segalanya dengan rasa patriotisme tinggi dan siap kemahirannya dalam merancang langkah strategis?" katanya sambil mempertanyakan.

 

 
3 dari 4 halaman

8.006 Warga Sipil Tewas dan 13.287 Orang Terluka

Kepala Misi Pemantau Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina (HRMMU) Matilda Bogner mengatakan bahwa jumlah korban sipil di Kota Mariupol selatan -yang dikepung dan dibombardir oleh rudal Rusia- sangat tinggi.

"Rekan-rekan saya mewawancarai seorang mantan tawanan perang dan dia berasal dari Mariupol. Di Mariupol dia dipaksa untuk mengumpulkan mayat di jalan-jalan kota. Dia memberi tahu kami bahwa tentara Rusia diharapkan memenuhi kuota harian satu truk mayat per hari. Kata dia... di Mariupol dengan kuota itu sama sekali tidak masalah," demikian pernyataan Bogner seperti dikutip dari situs resmi PBB, Rabu (22/2/2023).

Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) per 21 Februari 2023, sedikitnya 8.006 non-kombatan tewas, sementara 13.287 orang terluka sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022. Jumlah sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi, pernyataan yang berulang kali disampaikan staf OHCHR dalam banyak kesempatan.

"Angka-angka ini, yang kami terbitkan hari ini, mengungkapkan kerugian dan penderitaan yang diderita orang-orang sejak serangan bersenjata Rusia dimulai pada 24 Februari tahun lalu; penderitaan yang saya lihat sendiri ketika saya mengunjungi Ukraina pada Desember. Dan data kami hanyalah puncak gunung es. Korban sipil tak tertahankan. Di tengah kekurangan listrik dan air selama bulan-bulan musim dingin, hampir 18 juta orang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sekitar 14 juta orang telah mengungsi dari rumah mereka," ungkap Komisaris Tinggi OHCHR Volker Turk seperti dikutip dari situs resminya.

Banyak laporan tentang korban sipil masih menunggu konfirmasi di wilayah pendudukan lainnya di Ukraina, terutama di lokasi seperti Mariupol (wilayah Donetsk) dan Lysychansk, Popasna, dan Sievierodonetsk (wilayah Luhansk).

Turk menambahkan, "Setiap hari pelanggaran hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter terus berlanjut, semakin sulit untuk menemukan jalan ke depan melalui penderitaan dan kehancuran yang meningkat, menuju perdamaian."

Sekitar 90,3 persen korban sipil disebabkan oleh senjata peledak dengan efek area yang luas, termasuk peluru artileri, rudal jelajah dan balistik, serta serangan udara. Sebagian besar terjadi di daerah berpenduduk. Kantor OHCHR mencatat 632 korban sipil -219 tewas dan 413 luka-luka- disebabkan oleh ranjau dan bahan peledak sisa-sisa perang.

"Warga sipil terbunuh di rumah mereka saat berusaha memenuhi kebutuhan pokok mereka, seperti mengumpulkan air dan membeli makanan. Salah satunya termasuk Olha yang berusia 67 tahun, yang tewas dalam serangan rudal hanya beberapa meter dari flatnya di Kharkiv saat dia pergi membeli susu sehari setelah perang dimulai. Temannya mengatakan kepada pemantau HAM PBB bagaimana dia turun dari apartemen bersama mereka di lantai 15 dan menemukan Olha terbaring mati di jalan," tutur Turk.

Turk menuturkan kisah lain tentang Serhii, seorang pria berusia 60-an, yang menahan air mata ketika mengatakan kepada pengawas HAM PBB bagaimana dia melihat cucu perempuannya yang berusia enam tahun kehilangan satu kaki akibat terkena serangan langsung artileri di rumahnya di dekat Kherson pada 2 April 2022.

"Kisah-kisah seperti Olha dan Serhii menggarisbawahi harga yang harus dibayar dan terus dibayar oleh warga sipil di kedua sisi garis depan," tegas Turk.

"Upaya untuk menegakkan akuntabilitas dan keadilan atas pelanggaran hukum internasional harus diintensifkan dan diperdalam. Sama pentingnya bahwa para korban dapat mengakses reparasi dan bantuan praktis yang sangat mereka butuhkan, tanpa terlebih dahulu harus menunggu hasil dari proses hukum formal."

Rugikan Ekonomi Global Rp24.344 Triliun Lebih

Hasil penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics pada Selasa (21/2/2023), mengungkapkan bahwa perang Ukraina merugikan ekonomi global lebih dari US$ 1,6 triliun atau sekitar Rp24.344 triliun pada tahun 2022.

Penelitian yang sama menyebutkan bahwa kerugian global dapat mencapai US$ 1 triliun lagi atau lebih pada tahun 2023. Demikian seperti dikutip dari Anadolu, Rabu (22/2).

Model penghitungan lembaga ini didasarkan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, proyeksi ekonomi global IMF disebut menjadi dasar perhitungan dan estimasi.

Untuk mencapai hasil penelitian tersebut, perkembangan aktual PDB pada tahun 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang diharapkan semula pada akhir tahun 2021 tanpa perang Ukraina.

"Perang telah menyebabkan gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia," ungkap studi tersebut. "Biaya energi meroket. Inflasi meningkat tajam di mana-mana, mengurangi daya beli."

"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka."

Untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah dibanding tahun 2022. Alasannya adalah karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.

4 dari 4 halaman

Jadi Apa yang Dibutuhkan Putin untuk Hentikan Perang?

Mantan duta besar Amerika Serikat (AS) untuk Rusia John Sullivan mengungkapkan bagaimana rasanya mencoba bernegosiasi dengan Kremlin dan mengapa Presiden Vladimir Putin tidak akan menyerah begitu saja di Ukraina.

"Mereka menuntut jaminan keamanan untuk Rusia, tetapi tidak mau berbicara secara konstruktif tentang keamanan untuk Ukraina. Mereka tidak pernah bergerak melampaui pokok pembicaraan mereka," klaim Sullivan.

Dalam pidatonya pada Selasa, Putin mengulangi pandangannya bahwa Barat telah memulai perang, bahwa Barat menggunakan Ukraina untuk mencoba menimbulkan "kekalahan strategis" di Moskow, dan bahwa Rusia, bukan Ukraina, yang tengah berjuang untuk mempertahankan eksistensinya.

Sullivan mengatakan, tujuan invasi Rusia ke Ukraina, yaitu untuk "menghapus pengaruh Nazi" dan "demiliterisasi". Eks dubes AS itu kemudian menafsirkannya sebagai "menghapus pemerintah di Kyiv dan menaklukkan rakyat Ukraina".

"Dia (Putin) tidak dapat memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis, terutama yang dipimpin oleh Presiden (Volodymyr) Zelensky, di Kyiv," kata Sullivan. "Dia tidak akan pernah puas selama pemerintahan itu ada karena dia menganggapnya sebagai ancaman bagi Rusia dan visinya tentang negara Rusia yang lebih besar yang dia coba ciptakan."

Menurut Sullivan, "Putin harus diyakinkan bahwa dia tidak bisa menang."

Sullivan menuturkan, Putin memiliki cakrawala jangka panjang dan visi untuk apa yang ingin dia capai, sehingga dia tidak akan menyerah dengan mudah.

Namun, kata Sullivan, rakyat Ukraina juga tidak akan mudah menyerah. Dia menyinggung salah satu kegagalan strategis Putin disebabkan oleh tindakannya mengasingkan bangsa Slavia.

"Rakyat Ukraina tidak akan memaafkan dan melupakan," katanya. "Bahkan jika Presiden Zelensky ingin mengakhiri perang, ingin membuat konsesi teritorial, pada dasarnya ingin menyerah, rakyat Ukraina tidak akan membiarkannya."

Dengan kebuntuan militer, politik, dan ideologis seperti itu, AS harus bersiap untuk perang yang panjang.

Sullivan sendiri pesimistis konflik akan berakhir tahun ini.

"Selain itu saya tidak tahu lagi," katanya. "Tapi (Tuan Putin) tidak menginginkan kesalahan. Tujuan dari operasi militer khusus ini akan tercapai. Dia mengatakan itu sepanjang waktu."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.