Sukses

Pengamat: Indonesia Minim Mitigasi, Belum Optimal Hadapi Gempa Seperti Turki

Pengamat menilai bahwa Indonesia masih sangat minim dalam persiapan menghadapi bencana, terutama jika menghadapi gempa seperti yang terjadi di Turki saat ini.

Liputan6.com, Ankara - Gempa berkekuatan magnitudo 7,8 (versi USGS) telah menimbulkan dampak kehancuran yang tak sedikit di Turki hingga Suriah. Tak hanya mengakibatkan ribuan korban jiwa, lindu dahsyat itu juga menghancurkan banyak bangunan dan infrastruktur negara. 

Seperti Turki, Indonesia pun tak luput dari bencana gempa. Hal ini lantaran Indonesia secara geografis terletak berada di kawasan Ring of Fire atau 'Cincin Api' Pasifik.

Mengamati fenomena ini, pengamat pun menilai bahwa Indonesia masih belum siap jika menghadapi bencana gempa seperti yang terjadi di Turki saat ini. Hal ini lantaran minimnya persiapan mitigasi bencana alam

"Kalo di kita belum optimal kesiapannya, karena seperti kita kemarin di Cianjur, mengindikasikan kita juga belum siap karena adanya banyak korban," ujar Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah ketika dihubungi Liputan6.com, Selasa (7/2/2023).

Trubus menilai bahwa pemerintah Indonesia hanya melakukan penanganan pada saat kejadian. Sementara pada saat sebelum dan sesudah bencana, upaya yang dilakukan masih kurang. 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam menghadapi bencana sendiri, ada tiga tahapan yang harus diperhatikan.

Pertama, upaya preventif sebelum bencana terjadi. Dalam hal ini, penting untuk dilakukan edukasi kepada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, hingga jalur evakuasi yang harus ditempuh. 

"Tapi, untuk daerah tertentu yang sering mengalami bencana seperti Lumajang, ketika Semeru kerap erupsi, masyarakat sudah tau cara menghindari bencana sementara kalau di Cianjur, tidak ada persiapan sehingga berakibat banyaknya korban," jelasnya. 

Maka dari itu, ia menilai bahwa masyarakat perlu diedukasi soal cara melindungi diri ketika terjadi bencana. Ini termasuk semua lapisan masyarakat seperti anak-anak hingga lansia. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mitigasi Pasca Bencana

Kedua ketika bencana terjadi, yang kerap menimbulkan masalah adalah proses distribusi bantuan. 

"Titik-titik poskonya berjauhan karena wilayahnya luas, itu yang membuat seringkali kita koordinasinya lemah," jelas Trubus. 

Ketiga, adalah terkait penanganan pasca bencana. 

"Kita kan cuma relokasi doang, setelah direlokasi apa yang harus dilakukan gitu," tambah Trubus. 

Dengan penanganan seperti itu, Trubus pun menyimpulkan bahwa Indonesia masih jauh dari kata siap jika menghadapi gempa seperti yang dialami Turki.

"Indonesia kan minim kebijakan preventif, sehingga tata ruang nggak pernah ada informasi ke publik misalkan daerah di sini dibangun. Terus juga kan kontruksi bangunan kita bukan untuk gempa, tapi hanya rumah konvensional. Dan lagi-lagi edukasi masyarakat juga masih kurang, itu yang membuat ketika ada bencana kita jadi nggak siap," paparnya lagi. 

Trubus juga menambahkan bahwa pemerintah bisa melakukan sejumlah aksi konkret terkait bencana alam, terutama di wilayah yang rawan bencana. Hal ini termasuk perlunya pembangunan posko tetap dan edukasi masyarakat yang terus menerus. 

3 dari 4 halaman

Perlunya Perhatian bagi Konstruksi Bangunan

Di sisi lain, Pakar Mitigasi Bencana, Eko Teguh Paripurno menilai bahwa harus ada perhatian khusus terhadap konstruksi serta bangunan-bangunan tua yang tidak siap menghadapi bencana seperti gempa. 

"Sebelum bicara mitigasi, yang perlu dilakukan adalah pemetaan gedung-gedung tua yang akan jadi masalah," ungkapnya. 

Ia menilai bahwa mitigasi bencana kerap menjadi kambing hitam setiap kali terjadi bencana. Namun sebenarnya, para ahli bangunan gedung perlu mencermati dan menganalisa bangunan gedung yang sudah ada. 

"Beri mereka ruang untuk bekerja dan membuat keputusan. Sayangnya, kalau keputusannya baik, tapi tidak populer, banyak yang tidak mendukung dan tidak memberi ruang peran," jelasnya. 

"Saya sebagai geologiwan "hanya" bicara genetis sebab, tapi tidak mampu bicara kerentanan gedung-gedung kita," sambungnya lagi. 

Ia juga menekankan bahwa perlunya melakukan pemetaan gedung yang menyimpang antara perencanaan dan fakta konstruksinya, sebagai dampak korupsi.

 

 

4 dari 4 halaman

Perlunya Kajian Forensik Terhadap Gedung

Eko menambahkan bahwa perlu dilakukan kajian forensik atas gedung untuk menilai apakah gedung tersebut telah dibuat secara baik, sesuai perencanaan dan penganggarannya.

"Jadi, maaf, ini, di Indonesia terutama, bukan sekedar urusan mitigasi," simpulnya.

Ia juga mengatakan bahwa ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga pemilik gedung yang harus melakukan uji kelayakan struktur dan ketahanan gedungnya. Sementara pemerintah harus membuat kebijakan yang memaksa bahwa hal tersebut harus dilakukan. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.