Sukses

Swiss Ajukan Denda Rp 15,4 Juta Jika Wanita Pakai Burqa di Tempat Umum

Pemerintah Swiss telah mengirim rancangan undang-undang ke parlemen, soal UU mendenda orang-orang yang menggunakan burqa.

Liputan6.com, Jenewa - Pemerintah Swiss telah mengirim rancangan undang-undang ke parlemen, soal UU mendenda orang-orang yang menggunakan burqa atau penutup wajah di negaranya hingga 1.000 franc Swiss atau setara Rp 15,4 juta.

Rancangan undang-undang ini telah dikirim pada Rabu kemarin, mengikuti referendum tahun lalu tentang pelarangan penutup wajah.

Larangan yang diusulkan, juga dikenal sebagai "larangan pengunaan burqa", didukung oleh 51,2 persen pemilih, tetapi pada saat itu dikritik sebagai aksi Islamofobia dan seksis.

Setelah berkonsultasi, kabinet mempermudah seruan untuk menetapkan larangan dalam KUHP dan denda pelanggar hingga 10.000 franc Swiss.

“Larangan menutupi wajah bertujuan untuk memastikan keamanan dan ketertiban umum. Hukuman bukan prioritas," tulis sebuah pernyataan soal larangan tersebut seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (14/10/2022).

Inisiatif untuk melarang penutup wajah datang dari Egerkinger Komitee, sebuah kelompok yang mencakup politisi dari Partai Swiss sayap kanan, yang mengatakan bahwa mereka mengorganisir “perlawanan terhadap klaim kekuasaan Islam dan politik di Swiss”.

RUU tersebut tidak menyebutkan burqa atau niqab, tetapi melarang orang menyembunyikan wajah mereka di tempat umum seperti transportasi umum, restoran atau saat sedang, dengan menetapkan area mata, hidung, dan mulut harus terlihat.

Misalnya, seorang wanita Muslim boleh mengenakan hijab yang menutupi rambutnya, tetapi tidak boleh mengenakan niqab, pakaian yang hanya memperlihatkan mata atau burqa, kerudung seluruh tubuh yang juga menutupi wajah. Mereka diperbolehkan di tempat-tempat ibadah.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pengecualian

Ada pengecualian lain dalam undang-undang yang mencakup soal aturan penutup wajah untuk alasan keamanan. Seperti masalah iklim atau kesehatan, yang berarti orang diizinkan memakai masker untuk melindungi diri dari COVID-19.

Kelompok Muslim sebelumnya telah mengutuk larangan tersebut.

“Mematuhi aturan berpakaian dalam konstitusi bukanlah perjuangan pembebasan bagi perempuan tetapi langkah mundur ke masa lalu,” kata Federasi Organisasi Islam di Swiss, seraya menambahkan nilai-nilai Swiss tentang netralitas, toleransi, dan perdamaian telah dirugikan dalam UU tersebut.

Umat Muslim termasuk dalam 5 persen dari populasi Swiss yang berjumlah 8,6 juta orang, sebagian besar berasal dari Turki, Bosnia dan Herzegovina dan Kosovo.

Menurut perkiraan Universitas Lucerne, hanya sekitar 30 wanita yang memakai niqab di negara ini.

Swiss adalah salah satu dari lima negara di mana penutup wajah dilarang. Prancis melarang pemakaian cadar di depan umum pada tahun 2011, sementara Denmark, Austria, Belanda dan Bulgaria memiliki larangan serupa.

Amnesty International menyebut larangan burqa sebagai "kebijakan berbahaya yang melanggar hak-hak perempuan, termasuk kebebasan berekspresi dan beragama".

3 dari 4 halaman

Aturan Burqa di Afghanistan

Sementara itu, puluhan wanita melakukan protes di ibukota Afghanistan pada Selasa 10 Mei terhadap aturan baru Taliban bahwa perempuan harus menutupi wajah dan tubuh mereka sepenuhnya ketika di depan umum.

Pemimpin tertinggi Afghanistan dan kepala Taliban Hibatullah Akhundzada mengeluarkan mandat selama akhir pekan memerintahkan wanita untuk menutupi sepenuhnya, idealnya dengan burqa tradisional yang menutupi semua.

Diktat itu adalah yang terbaru dari serangkaian pembatasan yang merayap di Afghanistan, di mana kelompok Islamis telah mengembalikan keuntungan marjinal yang dibuat oleh perempuan setelah invasi pimpinan Amerika Serikat menggulingkan rezim Taliban pertama pada tahun 2001.

"Keadilan, keadilan!" teriak para pemrotes, banyak dengan wajah terbuka, di Kabul tengah, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Rabu (11/5/2022).

Para demonstran juga meneriakkan "Burqa bukan hijab kami!", menunjukkan keberatan mereka untuk memperdagangkan jilbab yang tidak terlalu ketat dengan burqa yang benar-benar tertutup.

Setelah prosesi singkat, pawai dihentikan oleh pejuang Taliban, yang juga menghalangi wartawan untuk meliput acara tersebut.

Dekrit Akhundzada yang juga memerintahkan perempuan untuk "tinggal di rumah" jika mereka tidak memiliki pekerjaan penting di luar, telah memicu kecaman internasional.

"Kami ingin hidup sebagai manusia, bukan sebagai hewan yang ditawan di sudut rumah," kata pengunjuk rasa Saira Sama Alimyar pada rapat umum tersebut.

4 dari 4 halaman

Tak Ingin Mengikuti Aturan

Akhundzada juga memerintahkan pihak berwenang untuk memecat pegawai pemerintah perempuan yang tidak mengikuti aturan berpakaian yang baru, dan menskors pekerja laki-laki jika istri dan anak perempuan mereka tidak mematuhinya.

Dalam 20 tahun antara dua tugas Taliban berkuasa, perempuan membuat beberapa keuntungan dalam pendidikan, tempat kerja dan kehidupan publik tetapi sikap sangat konservatif dan patriarki masih berlaku.

Di pedesaan, banyak wanita terus mengenakan burqa dalam dua dekade itu.

Tetapi beberapa cendekiawan dan aktivis agama mengatakan bahwa pakaian itu tidak memiliki dasar dalam Islam dan lebih merupakan aturan berpakaian Taliban yang dirancang untuk menindas wanita.

Setelah merebut kekuasaan tahun lalu, Taliban telah menjanjikan versi yang lebih lembut dari aturan Islam keras yang menandai tugas pertama mereka berkuasa dari 1996 hingga 2001, tetapi banyak pembatasan telah diberlakukan.

Beberapa wanita Afghanistan awalnya menentang pembatasan, mengadakan protes kecil di mana mereka menuntut hak atas pendidikan dan pekerjaan.

Tetapi Taliban segera menangkap para pemimpin kelompok itu, menahan mereka tanpa komunikasi sambil menyangkal bahwa mereka telah ditahan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.