Sukses

Perang Rusia-Ukraina, Presiden Macron: Besok Putin Mungkin Serang Asia

Presiden Prancis berapi-api bahas perang Rusia-Ukraina di Sidang Umum Majelis PBB 2022.

Liputan6.com, New York - Presiden Prancis Emmanuel Macron berapi-api saat pidato di Sidang Majelis Umum PBB 2022 di New York. Ia pun dan mengingatkan dunia agar tidak cuek terkait Perang Rusia-Ukraina. 

Pasalnya, Presiden Macron khawatir Rusia akan menyerang daerah lain juga setelah negara tetangganya sendiri. 

"Hari ini di Eropa, tetapi mungkin besok di Asia, di Afrika, atau Amerika Latin," ujar Presiden Prancis Emmanuel Macron di Markas PBB, disiarkan situs resmi UN, Kamis (22/9/2022).

Presiden Macron juga berkata bahwa Mahkamah Internasional telah menetapkan invasi Rusia sebagai hal yang ilegal, serta agar Rusia mundur dari Ukraina.

Lebih lanjut, Presiden Macron bahkan menyebut Rusia membangkitkan lagi imperialisme ketika menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.

"Apa yang kita lihat pada 24 Februari adalah kembali ke imperialisme dan kolonialisme. Prancis menolak hal tersebut dan terus mengupayakan perdamaian" ujar Presiden Prancis. 

Delegasi Rusia tampak tidak berekspresi ketika mendengar pidato Presiden Emmanuel Macron. 

<p>Ekspresi delegasi Rusia di Sidang Umum Majelis PBB 2022 ketika Presiden Prancis Emmanuel Macron pidato. Dok: YouTube/France24</p>Presiden Macron turut menyorot langkah "referendum" Rusia di wilayah-wilayah Ukraina yang dibombardir dan diduduki.

Sejauh ini, perdamaian Rusia-Ukraina masih belum kunjung tercapai. Ukraina meminta agar Rusia melepas wilayah-wilayah yang diduduki. Presiden Macron lantas berkata siap terus membantu Ukraina secara kemanusiaan dan militer.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Presiden Erdogan: Vladimir Putin Ingin Akhiri Perang di Ukraina

Sebelumnya dilaporkan, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberikan kabar terbaru dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Kedua pemimpin baru-baru ini bertemu di Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Samarkand, Uzbekistan.

Pada wawancara bersama PBS, Presiden Erdogan mengakui bahwa situasi terbilang bermasalah. Namun, ia menyebut Presiden Putin ingin mengakhiri perang.

"Di Uzbekistan, saya bertemu dengan Presiden Putin kami berdiskusi panjang dengannya," ujar Presiden Recep Tayyip Erdogan seperti dilansir media pemerintah Rusia, TASS, Selasa (20/9).

"Ia (Presiden Putin) ingin mengakhiri ini secepat mungkin," ucap Presiden Erdogan.

Lebih lanjut, Presiden Erdogan berkata langkah signifikan akan diambil ke depannya.

"Apa yang kita inginkan adalah pertempuran ini berakhir dengan damai," jelas Presiden Erdogan. Saat ini, Presiden Erdogan berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB 2022.

Rusia dan Ukraina sama-sama mitra dagang penting bagi Turki. Tak heran jika ekonomi Turki ikut terdampak invasi Rusia. Sejak perang dimulai pada Februari 2022, Presiden Erdogan berkali-kali mendorong adanya negosiasi antara kedua negara. 

Pada Juli 2022, Presiden Erdogan juga membantu memuluskan perjanjian tentang pengiriman gandum Ukraina. Perjanjian itu melibatkan PBB sebagai penengah antara Ukraina dan Rusia. 

Pada September 2022, pasukan Ukraina mulai merebut wilayah-wilayah yang sempat diduduki Rusia, seperti Izyum. Namun, kuburan massal ditemukan di kota tersebut. 

BBC menyebut ada ratusan makam yang ditemukan di Izyum usai kota itu dibebaskan dari cengkeraman Rusia. Kuburan itu tak bernama, namun diberikan salib kayu. Otoritas Ukraina memperkirakan ada 400 jenazah di kuburan massal Izyum.

3 dari 4 halaman

Putin Akan Berlakukan Wajib Militer pada Warga Rusia Untuk Lawan Ukraina

Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial di Rusia, yang secara tidak langsung akan mengharuskan warga untuk bergabung dalam upaya perang di Ukraina.

Dia juga memperingatkan negara-negara Barat untuk tidak menyerang wilayah Rusia. Kalau berani maka akan dibalas dengan cepat. 

Pidato Putin pada Rabu kemarin datang ketika invasi Rusia mencapai hampir tujuh bulan dan di tengah serangan balasan yang berhasil oleh militer Ukraina, demikian dikutip dari laman Fox News, Kamis (22/9/2022)

Wajib militer "sepenuhnya memadai untuk ancaman yang kita hadapi, yaitu melindungi tanah air kita, kedaulatan dan integritas teritorialnya, untuk memastikan keamanan rakyat kita dan orang-orang di wilayah yang telah dibebaskan," katanya.

"Kita berbicara tentang mobilisasi parsial, yaitu hanya warga negara yang saat ini berada di daftar cadangan yang akan dikenakan wajib militer, dan di atas semua itu, mereka yang bertugas di angkatan bersenjata memiliki spesialisasi militer tertentu dan pengalaman yang relevan," kata Putin.

Pernyataan itu juga muncul satu hari setelah Rusia mengumumkan akan mengadakan pemilihan di wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina timur dan selatan.

Ini akan memungkinkan wilayah-wilayah ini untuk bergabung dengan Rusia. Pemilihan seperti itu tidak diragukan lagi akan meningkatkan perang.

4 dari 4 halaman

300 WN Rusia Ditangkap Akibat Protes Tak Mau Ikut Perang

Para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di Moskow ketika kemarahan meletus atas deklarasi Vladimir Putin tentang rencana mobilisasi parsial di Rusia.

Massa turun ke jalan di ibu kota Rusia setelah Kremlin mengumumkan 300.000 orang warga sipil untuk melanjutkan invasi ke Ukraina. 

Demonstran meneriakkan "Tidak ada perang" sebagai bentuk perlawanan karena beberapa ditindih ke tanah atau diseret setelah ditahan oleh polisi bersenjata, demikian dikutip dari situs berita Sky News, Kamis (22/9).

Setidaknya 300 orang di Moskow termasuk di antara lebih dari 1.371 yang ditahan di 38 kota secara nasional pada Rabu malam.

Sky News melaporkan para demonstran diperlakukan "secara brutal", menggambarkan kerumunan sebagai kelompok yang "sangat berani" karena secara terbuka mengekspresikan pandangan kepada polisi.

"Kami belum melihat protes di sejumlah kota selama lima atau enam bulan terakhir, orang-orang sangat takut dengan fakta bahwa mereka akan ditahan, dan itu jelas apa yang terjadi," kata Magnay, seorang reporter Sky News.

Warga Rusia menghadapi kemungkinan ditahan karena menghadiri demo anti-pemerintah selama bertahun-tahun -- tetapi mereka juga telah dibungkam oleh sensor militer sejak invasi dimulai pada 24 Februari.

Ribuan orang bergabung dengan protes anti-perang pada awal konflik -- terlepas dari konsekuensi potensial, termasuk kehilangan pekerjaan dan bahkan dipenjara.

"Banyak yang khawatir dengan eskalasi dan tidak mau terlibat langsung dengan perang," tambah Magnay.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.